WahanaNews.co | Barang bawaan rombongan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri
Mulyani Indrawati, berupa dua sepeda lipat Brompton,
saat pulang dari perjalanan dinas pertemuan Investor di Amerika Serikat pada 11
November 2019 silam, dituntut ke Pengadilan.
Lembaga Pengawalan Pengawasan dan
Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) adalah pihak yang mengajukan gugatan hukum ke
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terkait dugaan tindak pidana kepabeanan
pada pengiriman sepeda Brompton dalam
rombongan Sri Mulyani tersebut.
Baca Juga:
Menkeu: Kemenkeu Dukung dan Berikan Bantuan Maksimal Kepada Seluruh K/L pada KMP
Wakil Ketua LP3HI, Kurniawan Adi
Nugroho, dalam hal ini bertindak sebagai pihak ketiga atau pemohon Pra-Peradilan ke PN Jakarta Selatan.
Dia menduga, tindak
pidana penyelundupan sepeda Brompton
dalam rombongan Sri Mulyani itu tidak diajukan oleh Direktur Jendral Bea dan
Cukai (DJBC) selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) maupun Jaksa Agung
sebagai penuntut umum.
Kurniawan menyatakan, dirinya
mengajukan sebagai pemohon Pra-Peradilan dengan mengacu pada Pasal 80
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
berbunyi: "Praperadilan terhadap
tidak sahnya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan dapat diajukan
oleh Penyidik/Penuntut dan Pihak Ketiga Berkepentingan."
Baca Juga:
Sri Mulyani Minta Pemangkasan 50% Anggaran Perjalanan Dinas, Ini Instruksinya
"Bahwa berdasarkan dalil-dalil
tersebut di atas, maka Pemohon memiliki kualifikasi secara hukum untuk
bertindak sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan Permohonan
Pra-Peradilan a quo,"
ujar Kurniawan, dalam dokumen tertulis LP3HI yang
diterima pada Selasa (18/5/2021).
Kurniawan menjelaskan, keududukan
hukum para termohon dalam Pra-Peradilan yang dia ajukan, yaitu
termohon pertama adalah DJBC.
DJBC memiliki wewenang sebagai PPNS untuk
dugaan tindak pidana di bidang kepabeanan yang diatur dalam UU 8/1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
"Bahwa dengan demikian, Pemohon
tidak salah dalam menarik Termohon I sebagai pihak dalam permohonan praperadilan
a quo," tegas Kurniawan.
Sedangkan untuk termohon kedua adalah
Jaksa Agung, di mana bertindak sebagai pihak yang
dimintakan persetujuan jika akan dilakukan penghentian penyidikan.
Kurniawan menyebutkan, dalam Pasal 113
ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan dikatakan: "Untuk kepentingan penerimaan negara, atas
permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di
Bidang Kepabeanan."
"Bahwa dengan demikian, Pemohon
tidak salah dalam menarik Termohon II sebagai pihak dalam permohonan
praperadilan a quo," sambung Kurniawan.
Lebih lanjut, Kurniawan memaparkan
materi Praperadilan yang dia ajukan terkait penghentian penyidikan atas kasus
dugaan penyelundupan sepeda lipat Brompton dalam rombongan Sri Mulyani,
yang diangkut menggunakan pesawat Qatar Airways kode penerbangan QR0958 dari
Doha menuju Jakarta pada 2019 lalu.
Kurniawan memaparkan kronologi
penindakan DJBC terhadap kejadian tersebut yang dia nilai aneh.
Karena,
menurutnya, pihak kepabeanan, dalam hal ini Direktur Kepabeanan
Internasional dan Antar Lembaga DJBC Kementerian Keuangan, Syarif Hidayat, menyatakan bahwa dua sepeda Brompton
itu sudah dikuasai negara pada September 2020.
Tapi, tanggal 11 Februari 2021 baru
dinyatakan dimiliki negara.
Sedangkan dalam Pasal 77 ayat (2) UU
Kepabeanan disebutkan ketentuan kewajiban PPNS Kepabeanan memberitahu secara
tertulis suatu barang yang diimpor ternyata dinyatakan tidak benar, dan
diumumkan selama 30 (tiga puluh) hari sejak disimpan di Tempat Penimbunan
Pabean.
"Dengan demikian, patut diduga
kedua unit sepeda Brompton tersebut
sempat dikuasai pemiliknya selama 10 (sepuluh) bulan sejak tanggal 11 Nopember
2019 sampai dengan bulan September 2020," tutur Kurniawan.
"Maka patut diduga kedua unit
sepeda tersebut bukan dicegah (dilarang) oleh Termohon I, namun
disita oleh Termohon I dari pemiliknya. Bahwa dengan demikian, Termohon I
mengetahui siapa pemilik barang tersebut, namun tidak menetapkannya sebagai
tersangka atas dugaan tindak pidana kepabeanan," ungkapnya.
Dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 113 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan, Kurniawan menilai
Direktur Jendral Bea dan Cukai Kemenkeu dan Jaksa Agung secara bersama-sama
telah menghentikan penyidikan atas tindak pidana penyelundupan dua unit sepeda
Brompton secara tidak sah dan melawan hukum oleh Sri Mulyani.
Kemudian, berdasarkan Pasal 109 ayat
(2) KUHAP, diatur bahwa jika penyidik menghentikan penyidikan, maka wajib
memberitahu penuntut umum dan tersangka atau keluarganya.
Namun, dalam perkara a quo, kewajiban tersebut tidak
dilakukan, baik oleh DJBC selaku penyidik Pegawai Negeri Sipil maupun Jaksa
Agung selaku pihak yang dimintakan persetujuan penghentian penyidikan.
"Dikarenakan Para Termohon telah
menghentikan penyidikan perkara a quo
secara tidak sah dan melawan hukum, maka Para Termohon harus dihukum untuk
melanjutkan penyidikan atas laporan dalam perkara a quo, berupa pelimpahan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum
(Termohon II) dan selanjutnya Termohon II segera melimpahkan perkaranya untuk
diperiksa di Pengadilan," demikian Kurniawan. [dhn]