WahanaNews.co, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh lima ibu, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani.
Kelima Pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak. Para Pemohon menguji frasa “Barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP).
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
“Amar putusan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Nomor 140/PUU-XXI/2023, dikutip dari laman resmi MK, Rabu (25/9).
Kelima pemohon merupakan ibu yang bercerai dan memiliki hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan. Namun mirisnya, mereka tak lagi dapat bertemu dengan buah hatinya karena mantan suami diduga membawa kabur anak.
Para pemohon juga mengklaim bahwa mereka sudah melaporkan perbuatan mantan suami tersebut ke kepolisian dengan menggunakan Pasal 330 ayat (1) KUHP, tapi nyatanya laporan tersebut tidak diterima atau tidak menunjukkan perkembangan dengan alasan bahwa yang membawa kabur anak adalah ayah kandungnya sendiri.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Pengalaman pribadi para pemohon pula yang menjadi latar belakang pengajuan uji materi. Kelima pemohon menilai frasa “barang siapa” pada pasal dimaksud berpotensi ditafsirkan bahwa ayah atau ibu kandung dari anak tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tuduhan menculik anak kandung sendiri.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan asas kepentingan terbaik bagi anak merupakan salah satu prinsip yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak yang diakomodasi dalam UU 23/2002.
Penjelasan Pasal 2 UU 23/2002 menyebutkan kepentingan terbaik bagi anak adalah dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
Untuk itu, asas kepentingan terbaik bagi anak menjadi sangat penting sebagai pedoman hakim dalam memutus perkara perceraian yang di dalamnya terdapat perselisihan mengenai hak asuh anak karena anak merupakan pihak yang rentan menjadi korban jika terjadi perceraian.
Oleh karena itu, bukan berarti penetapan hak asuh anak kepada salah satu pihak oleh pengadilan menjadikan orang tua yang satunya tidak memiliki hak dan terbebas dari tanggung jawab, karena sesungguhnya penetapan hak asuh anak lebih berkaitan pada hak asuh fisik (physical custody), yakni kebutuhan pemeliharaan anak secara fisik karena belum mampu merawat dirinya sendiri baik secara jasmani maupun rohani.
Adapun berkaitan dengan hak asuh legal (legal custody) yakni yang berhubungan dengan hak dan tanggung jawab orang tua tetap melekat dalam proses membesarkan anaknya, sehingga jika bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, maka pengadilan dapat menentukan ibu juga ikut memikul biaya tersebut.
Bahkan, dalam keadaan ayah atau ibu berkelakuan buruk atau sangat melalaikan kewajibannya sehingga dapat dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, tanpa disertai pencabutan terhadap kewajiban-kewajiban kepada anaknya untuk memberi biaya pemeliharaan.
Pengasuhan Anak Bersama
Sesungguhnya yang dikehendaki dalam berbagai ketentuan yang mengatur mengenai hak asuh anak adalah pengasuhan anak bersama (joint custody) sebagai tata laksana pengasuhan anak yang didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak. Dengan demikian, meskipun pengadilan menetapkan kepada salah satu orang tua sebagai pemegang hak asuh anak, namun tidak boleh membatasi akses orang tua yang tidak memegang hak asuh untuk bertemu dengan anaknya.
Dalam hal ini, SEMA 1/2017, dan sekali lagi tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas ketentuan dimaksud, pada rumusan hukum kamar agama telah merumuskan bahwa amar penetapan hak asuh anak (hadlanah) harus mencantumkan kewajiban pemegang hak hadlanah memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadlanah untuk bertemu dengan anaknya.
Demikian juga dalam pertimbangan hukum, majelis hakim harus pula mempertimbangkan bahwa tidak memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadlanah dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadlanah. Artinya, orang tua yang tidak memegang hak asuh tidak boleh dibatasi aksesnya untuk bertemu dengan anaknya sepanjang akses dimaksud diketahui dan diizinkan oleh orang tua pemegang hak asuh. Sebaliknya, orang tua pemegang hak asuh tidak boleh menutup akses, melarang atau tidak memberi izin bagi orang tua yang tidak memegang hak asuh untuk bertemu dengan anaknya.
Implementasi Norma
Lebih lanjut, MK dalam pertimbangan hukum lainnya yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, menyatakan terhadap persoalan yang dihadapi oleh para Pemohon, yaitu tidak diterimanya laporan para Pemohon bahwa terlapor bukan sebagai pelaku tindak pidana dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP, terhadap hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menilainya.
Namun seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya penyidik Polri untuk menerima setiap laporan berkenaan dengan penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP, dikarenakan unsur “barangsiapa” yang secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang atau siapa saja tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini adalah orang tua kandung anak baik ayah atau ibu.
Arief menegaskan, permasalahan yang dialami para Pemohon merupakan permasalahan penerapan atau implementasi norma Pasal 330 ayat (1) KUHP. Mahkamah perlu menegaskan dalam kasus perceraian yang terdapat perselisihan hak asuh anak maka yang harus diperhatikan yakni kepentingan terbaik bagi anak sebagai pihak yang paling rentan akibat adanya perceraian sehingga harus mendapatkan perlindungan.
Salah satu prinsip dalam perlindungan anak selain prinsip non-diskriminasi, prinsip kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta prinsip penghargaan terhadap pendapat anak, adalah prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak. Prinsip ini menjelaskan bahwa dalam setiap tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan utama.
Dengan demikian, kepentingan terbaik bagi anak dapat dimaknai sebagai prinsip yang mendasari dilakukannya perlindungan anak, sehingga perlindungan anak tersebut haruslah dilaksanakan demi memenuhi kepentingan terbaik bagi anak.
Dalam hal ini, tolok ukur terhadap kepentingan terbaik bagi anak maka anak harus mendapatkan pemeliharaan dan pengasuhan, memeroleh pendidikan yang layak guna pengembangan diri, melaksanakan ibadah menurut agamanya, memeroleh pelayanan kesehatan, dapat berinteraksi sosial, dan mendapat perlakuan secara manusiawi, serta mendapatkan pemenuhan kebutuhan asih, asah, dan asuh.
Penculikan Anak oleh Orang Tua
Dalam kasus penculikan anak kandung oleh orang tua kandung, selain anak yang menjadi korban, menurut Mahkamah orang tua yang dipisahkan secara paksa dari anaknya oleh orang tua yang satunya, juga dapat menjadi korban terutama secara psikis. Dengan demikian, berkenaan dengan perbuatan yang dilarang berkaitan dengan penguasaan anak secara paksa sekalipun belum terjadi perceraian, telah tersedia mekanisme hukum yang cukup memadai tidak hanya dalam rangka melindungi anak, akan tetapi juga orang tua.
Artinya, terdapat hubungan baik psikis maupun psikologis antara orang tua dan anak kandung yang seharusnya tidak dapat dipisahkan antara salah satu dengan yang lainnya, sehingga jikalau hal demikian menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, maka kepentingan anak yang paling diutamakan dan pilihan untuk memidanakan salah satu orang tua kandung anak yang melanggar ketentuan Pasal 330 ayat (1) KUHP adalah pilihan terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium). Terlebih, dalam paradigma penyelesaian tindak pidana saat ini, hal-hal demikian dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice.
Setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif, Pasal 330 ayat (1) KUHP merupakan ketentuan yang diatur secara jelas dan tegas (expressive verbis), sehingga ketentuan dimaksud tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain, yaitu frasa "barang siapa" mencakup setiap orang, tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak, sebagaimana yang didalilkan para Pemohon.
Dalam batas penalaran yang wajar, menambahkan pemaknaan baru terhadap Pasal 330 ayat (1) KUHP, termasuk seperti yang dimohonkan para Pemohon, justru akan memosisikan norma a quo menjadi berbeda sendiri (anomali) di antara semua norma dalam KUHP yang menggunakan frasa "barang siapa” yang sesungguhnya bermakna "setiap orang" atau "siapa saja", tanpa perlu memaknai dengan kualitas tertentu. Karena, hal tersebut justru berpotensi mempersempit jangkauan dari subjek hukum yang menjadi addressaat norm Pasal 330 ayat (1) KUHP, termasuk juga pasal-pasal lain dalam KUHP yang menggunakan frasa "barang siapa".
Selain itu, menambahkan unsur "mencakup setiap orang, tanpa terkecuali dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP sebagaimana dikehendaki para Pemohon akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena jika dalam ketentuan norma tindak pidana yang lain mempunyai subjek hukum yang bersifat khusus maka dapat menimbulkan multitafsir jika tidak terlebih dahulu dilakukan pemaknaan baru oleh Mahkamah.
Dengan demikian, Mahkamah berkesimpulan bahwa Pasal 330 ayat (1) KUHP telah memberikan perlindungan hukum atas anak dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Dissenting Opinion
Sembilan hakim konstitusi tidak bulat dalam pengambilan putusan ini. Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memiliki pendapat berbeda. “Saya Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah berpendapat seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian (partially granted),” ujar Guntur.
Guntur menjelaskan, fenomena dan realita yang terjadi selama ini, banyak kasus pengambilan paksa dan bahkan penculikan anak di bawah umur oleh salah satu orang tuanya yang biasanya dilakukan oleh ayah kandungnya, yang tidak dapat diproses oleh aparat penegak hukum in casu kepolisian.
Maka sudah sepatutnya demi "menegakkan hukum dan keadilan", Mahkamah seharusnya memainkan perannya sebagai the protector of the citizen constitutional right, dalam perkara ini guna melindungi hak konstitusional para ibu kandung yang telah memiliki hak asuh baik secara natural maupun apabila secara sah diberikan oleh pengadilan dari tindakan pengambilan paksa atau penculikan yang dilakukan oleh ayah kandungnya. Hal mana tidak hanya demi memberikan kepastian hukum (legal certainty), melainkan juga rasa aman bagi anak maupun orang tua asuhnya yang secara sah diakui oleh hukum.
[Redaktur: Andri Frestana]