WahanaNews.co | Pakar politik, Siti Zuhro, menyebut, aturan ambang batas pemilihan presiden terbukti mengakibatkan polarisasi dan disharmoni sosial yang mengancam persatuan nasional.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini mencontohkan pada Pemilihan Presiden 2014 dan 2019 lalu, sistem ambang batas akhirnya membuat pelaksanaan Pilpres hanya diikuti dua pasangan calon.
Baca Juga:
Kedutaan Inggris Rayakan Ulang Tahun Raja Charles III di Kebun Raya Bogor
"Ambang batas pemilihan presiden membuat fungsi representasi tidak efektif karena pasangan calon yang muncul berasal dari kubu tertentu saja,” ujar Siti Zuhro, Minggu (14/11/2021).
Dia mengatakan pandangannya pada diskusi publik bertajuk “Pilpres 2024: Menyoal Presidential Threshold” yang disiarkan di kanal YouTube Forum INSAN CITA, dipantau dari Jakarta.
Menurut Siti, sistem multi partai dengan jumlah yang banyak, serta masyarakat Indonesia yang majemuk, tidak seharusnya hanya memunculkan dua pasangan calon.
Baca Juga:
Anasir Intoleran dan Kontroversi Aparatur BRIN Minim Prestasi: Presiden Jokowi Perlu Evaluasi
Hal tersebut mengakibatkan sistem multi partai dan masyarakat majemuk menjadi tidak terwakilkan dalam skema pemilihan presiden, sehingga membutuhkan upaya yang lebih tinggi dalam rangka menjamin kepentingan rakyat dan membangun demokrasi yang substantif.
Selain keterbatasan jumlah pasangan calon, Siti juga berpendapat ambang batas pemilihan presiden mengakibatkan kompetisi berlangsung secara tidak adil.
Nama pasangan calon yang muncul kemungkinan besar hanya nama lama, serta menyulitkan kaum perempuan dalam mencalonkan diri menjadi presiden.