WahanaNews.co | Adrianus Agal, Wakil Ketua Badan Advokasi Hukum dan HAM (Bakumham) DPP Partai Golkar angkat bicara soal status kepemilikan tanah kediaman keluarga Wanda Hamidah di Menteng, Jakarta Pusat, merupakan sertifikat HGB milik Ketua Majelis Pimpinan Nasional (MPN) PP Japto Soelistyo Soerjosoemarno.
"Lahan kediaman keluarga Wanda Hamidah itu hak milik Pak Japto Soerjosoemarno, itu berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang dikeluarkan BPN Jakarta dan juga berdasarkan hasil koordinasi dengan kementerian terkait," ujar Adrianus Agal kepada WahanaNews.co, Jumat (21/10/22).
Baca Juga:
Daftar Lengkap Pengurus DPP Partai Golkar Periode 2024–2029
Ia menjelaskan Golkar akan objektif dalam kasus ini, dan tidak akan berpihak kepada Wanda Haminah meskipun kini sudah bergabung dan menjadi kader Golkar.
Andrian menegaskan pihaknya sudah berkoordinasi ke sejumlah lembaga dan kementerian terkait polemik rumah kediaman keluarga Wanda Hamidah.
Oleh sebab itu dapat dipastikan lokasi tersebut berada pada Sertifikat HGB No. 1000/Cikini seluas 765 M2 dan Sertifikat HGB No. 1001/Cikini seluas 534 M2 yang terletak di Jalan Ciasem No 2 Kelurahan Cikini Kecamatan Menteng Kota Administrasi Jakarta Pusat atas nama pemilik KPH Japto S Soerjosoemamo, S.H.
Baca Juga:
Bahlil Lahadalia Umumkan 150 Pengurus Baru DPP Partai Golkar
"Saya bingung dengan pernyatan Wanda, rumah itu katanya milik dia,sementara mulai pertama pemilik SIP sampai hari ini yang sedang ribut atas nama Pak Hamid, itu tidak ada dasar hukum apa-apa," kata Andrian.
Ia juga heran atas pernyataan yang menyebut eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menzalimi dirinya dengan melakukan eksekusi. Dia menyebut Anies hanya melakukan penertiban atas keluhan dari pengadu.
Wandah Hamidah menuduh Anies membawa ini dalam konteks politik, dan dianggap menzalimi dia.
"Atas dasar apa dia menyebut seperti itu, kalau memang benar pihak Wanda memiliki alas hak kepemilikan yang sah, kenapa tidak digugat sejak SP 1 yang dikeluarkan pemkot Jakarta Pusat?. Itu sudah menjadi tugas pemerintah dalam menertibkan lahan liar, yang seharusnya dikuasasi dan digunakan oleh pemegang Sertifikat," tegasnya.
Ia juga menghimbau agar Wanda Hamidah introspeksi diri agar tidak membuat kericuhan di publik dan sosial media. Karena menurutnya negosiasi dan mediasi soal penertiban lahan tersebut sudah dilakukan dengan semaksimal mungkin.
Dikarenakan tidak ada itikad baik hingga SP 3 dikeluarkan, maka Pemkot Jakarta Pusat berhak melakukan pengosongan paksa.
Kamis (13/10) siang, petugas Satpol PP dibantu PPSU Kelurahan Menteng mengosongkan rumah Wanda Hamidah. Sejumlah perabotan dari dalam rumah dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam sebuah truk.
Pengosongan rumah Wanda Hamidah ini terjadi pada Kamis (13/10). Wanda Hamidah bahkan meminta pertolongan kepada Presiden Jokowi hingga Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
"Kami mohon perlindungan hukum kepada Pak @jokowi Pak @aminuddin.maruf Pak @mohmahfudmd Pak @kapolri_indonesia atas tanah dan rumah yang kami tinggali dari tahun 1960 dari dugaan kesewenang-wenangan," ucap Wanda seperti dilihat di akun Instagramnya, Kamis (13/10).
Wanda mengatakan Pemprov DKI memaksa melakukan pengosongan dengan memerintahkan Satpol PP, Damkar, dengan mengirimkan buldoser hingga truk-truk.
"Dan banyak lagi lainnya tanpa melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap!," kata Wanda.
Penyataan dari Adrianus Agal juga diperkuat oleh pihak kuasa hukum Japto, KRT Tohom Purba dan juga Kabag Hukum Pemkot Jakpus, Ani Suryani.
Tohom memaparkan, rumah yang ditempati keluarga Wanda Hamidah atas nama Hamid Husen tersebut berdiri di atas lahan milik pemerintah, yang SHGB-nya sudah tercatat atas nama Japto Soelistjo Soerjosoemarno sejak tahun 2012 lalu hingga 2032 mendatang.
“Hamid Husen mendalilkan menempati lahan tersebut berdasarkan SIP atau Surat Izin Penghunian atas nama Syech Abubakar, yang dikeluarkan Dinas Perumahan dan masa berlakunya sudah berakhir sejak 3 Februari 2009,” kata Tohom.
Dengan demikian, nama Hamid Husen tidak tercatat memiliki dasar atau riwayat perolehan atas “tindakan penghunian” yang dilakukannya.
Berkaca dari fakta-fakta dokumentatif tersebut, lanjut Tohom, maka penggunaan istilah “sewenang-wenang” pun jadi tidak tepat, karena sebetulnya keluarga Wanda Hamidah atas nama Hamid Husen itu sudah diberi kesempatan untuk menempati lahan tadi tanpa alas hak yang sah selama sekitar 13 tahun (2009-2022).
“Pemkot Jakarta Pusat, Pemprov DKI Jakarta, maupun Bapak Japto Soelistjo Soerjosoemarno sudah memberikan informasi, waktu, dan kesempatan yang cukup kepada Hamid Husen untuk melakukan pengosongan lahan berdasarkan inisiatif dan kesadarannya sendiri,” kata Tohom.
Antara lain sudah memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Namun semuanya itu sama sekali tidak diindahkan oleh Hamid Husen.
Pemkot Jakarta Pusat pun, sambung Tohom, sudah melayangkan undangan Rapat Koordinasi sekaligus mediasi antara Hamid Husen dengan Japto Soelistjo Soerjosoemarno. Namun Hamid Husen atau perwakilannya tidak hadir memenuhi undangan tersebut.
“Maka, sebetulnya, seandainya Hamid Husen bisa menunjukkan alas haknya yang sah atas lahan yang dikuasainya tersebut, kami yakin tindakan pengosongan paksa itu pasti tidak akan pernah dilaksanakan,” kata Tohom.
Karena Hamid Husen tidak memiliki alas hak yang sah atas lahan yang dikuasainya tersebut, sebagaimana yang dimiliki oleh Japto, maka ini tidaklah termasuk dalam kategori “persengketaan” yang membutuhkan putusan pengadilan.
Tohom mengingatkan pada keluarga Wanda Hamidah untuk tidak melontarkan pernyataan-pernyataan berbau fitnah terhadap kliennya, baik melalui berbagai platform media sosial ataupun media massa, karena tindakan semacam demikian memiliki risiko dan konsekuensi hukum tersendiri.
“Ketimbang melakukan langkah-langkah yang sudah tidak relevan lagi dengan persoalan, sebaiknya pihak Hamid Husen mematuhi saja regulasi-regulasi yang berlaku, bila memang tidak memiliki bukti alas hak yang seimbang dengan yang dimiliki klien kami atas lahan tersebut,” demikian Tohom.
Kabag Hukum Pemkot Jakpus, Ani Suryani, menjelaskan pada lahan tersebut berdiri 4 rumah yang salah satunya ditempati Wanda Hamidah.
Lahan tersebut dimiliki Japto Soerjosoemarno, yang memiliki Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) sejak 2012 di saat SIP (Surat Izin Penghunian) yang dipunyai Wanda Hamidah sudah habis.
"Pak Japto membeli ini. Awalnya punya SHGB itu, kemudian dibeli oleh beliau kemudian diterbitkan. Karena ini tanah negara. Yang (punya) SIP ini dia (Wanda) tetapi sebagai penghuni, dan SIP sudah mati sejak tahun 2012," kata Ani kepada wartawan di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (13/10).
Pemkot Jakpus menyebut sudah tiga kali mengirimkan somasi tapi tak direspons. Wanda Hamidah juga disebut sudah ditawari untuk pindah, tetapi tidak dihiraukan.
"Kita itu sudah ada mekanismenya yang pertama kita melakukan somasi atau pemberitahuan somasi itu bisa 2 hingga 3 kali. Somasi sudah dilakukan sudah 2 kali berarti ada waktu dari yang punyanya (Wanda), untuk ditawarkan untuk pindah, itu namanya mediasi, tapi itu tidak dihiraukan," kata Ani Suryani. [JP]