WahanaNews.co | Para terduga pelaku pemerkosaan remaja puteri di Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Selatan, RO (16), dinilai patut dihukum berat atau bahkan dijatuhi vonis mati.
Praktisi psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyebutkan, jika dilihat dari apa yang dialami korban akibat pemerkosaan itu, maka menjatuhkan hukuman maksimal kepada mereka, termasuk hukuman mati, tidaklah berat.
Baca Juga:
Pemkab Parigi Moutong dan BPJAMSOSTEK Berkomitmen Lindungi Aparat Desa Lewat Jamsostek
"Alasannya, terutama karena korban sampai menderita masalah fisik sedemikian serius," kata praktisi psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, mengutip Kompas.com, Sabtu (3/6/2023).
Menurut Reza, jika dilihat dari sisi istilah dan isi dalam Undang-Undang Perlindungan Anak maka hanya ada 2 hal yang merujuk kepada klasifikasi kekerasan seksual terhadap anak, yakni persetubuhan dan pencabulan. Sedangkan kosakata pemerkosaan tidak digunakan pada beleid itu.
Akan tetapi, lanjut Reza, persetubuhan dengan anak dalam istilah asing adalah statutory rape. Sedangkan rape adalah pemerkosaan.
Baca Juga:
KPU: 335.904 Surat Suara Pilkada 2024 Segera Tiba di Parigi Moutong
Menurut Reza, istilah statutory rape dipakai untuk mempertegas sekaligus membedakan dengan pemerkosaan secara umum.
"Pada rape (pemerkosaan), kehendak dan persetujuan kedua pihak ditinjau. Rape hanya terjadi ketika salah satu pihak tidak berkehendak dan tidak bersepakat akan persetubuhan yang mereka lakukan. Hal sedemikian rupa tidak berlaku pada anak-anak," ujar Reza.
Kendati anak berkehendak dan bersepakat, lanjut Reza, serta-merta kedua hal tersebut ternihilkan. Penyebabnya adalah menurut dia anak tetap dianggap tidak berkehendak dan tidak bersepakat.