WahanaNews.co | Para terduga pelaku pemerkosaan remaja puteri di Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Selatan, RO (16), dinilai patut dihukum berat atau bahkan dijatuhi vonis mati.
Praktisi psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyebutkan, jika dilihat dari apa yang dialami korban akibat pemerkosaan itu, maka menjatuhkan hukuman maksimal kepada mereka, termasuk hukuman mati, tidaklah berat.
Baca Juga:
Polisi Himbau Tujuh Tahanan yang Kabur dari Sel Polres Parigi Moutong Serahkan Diri
"Alasannya, terutama karena korban sampai menderita masalah fisik sedemikian serius," kata praktisi psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, mengutip Kompas.com, Sabtu (3/6/2023).
Menurut Reza, jika dilihat dari sisi istilah dan isi dalam Undang-Undang Perlindungan Anak maka hanya ada 2 hal yang merujuk kepada klasifikasi kekerasan seksual terhadap anak, yakni persetubuhan dan pencabulan. Sedangkan kosakata pemerkosaan tidak digunakan pada beleid itu.
Akan tetapi, lanjut Reza, persetubuhan dengan anak dalam istilah asing adalah statutory rape. Sedangkan rape adalah pemerkosaan.
Baca Juga:
Pemkab Parigi Moutong Sinergi Lintas Sektor Percepat Penurunan Prevalensi Stunting
Menurut Reza, istilah statutory rape dipakai untuk mempertegas sekaligus membedakan dengan pemerkosaan secara umum.
"Pada rape (pemerkosaan), kehendak dan persetujuan kedua pihak ditinjau. Rape hanya terjadi ketika salah satu pihak tidak berkehendak dan tidak bersepakat akan persetubuhan yang mereka lakukan. Hal sedemikian rupa tidak berlaku pada anak-anak," ujar Reza.
Kendati anak berkehendak dan bersepakat, lanjut Reza, serta-merta kedua hal tersebut ternihilkan. Penyebabnya adalah menurut dia anak tetap dianggap tidak berkehendak dan tidak bersepakat.
"Sehingga, apa pun suasana batin anak, ketika dia disetubuhi, serta-merta dia disebut sebagai korban pemerkosaan atau korban persetubuhan," ucap Reza.
Maka dari itu menurut Reza, siapa pun yang menyetubuhi anak itu, termasuk seseorang yang disebut sebagai anggota Brimob sekalipun, maka bakal diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
"Apa jenis kejahatan seksualnya? Persetubuhan dengan anak. Atau, statutory rape alias pemerkosaan yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum, bukan oleh ketiadaan kehendak dan kesepakatan dari pihak korban," papar Reza.
Sebelumnya diberitakan, RO dilaporkan diperkosa oleh 11 lelaki dalam kurun waktu April 2022 sampai Januari 2023.
Para terduga pelaku disebut terdiri dari guru sekolah dasar, petani, kepala desa, wiraswasta, pengangguran, termasuk seorang anggota Brimob.
Kasus tersebut terungkap setelah korban melapor ke Polres Parigi Moutong pada Januari 2023.
Saat melapor, RO didampingi oleh ibu kandungnya. Terbaru, polisi menyampaikan bahwa peristiwa yang menimpa RO bukanlah kasus pemerkosaan melainkan persetubuhan di bawah umur.
Alasannya, tindakan para tersangka tidak dilakukan secara paksa melainkan ada bujuk rayuan dan iming-iming.
Korban melapor ke Polres Parigi Moutong pada Januari 2023 lalu setelah mengalami sakit pada bagian perut.
Korban menyampaikan bahwa tindakan para tersangka dilakukan di tempat yang berbeda-beda selama 10 bulan.
Menurut laporan, RO mengalami gangguan pada rahimnya akibat peristiwa itu. Korban saat ini dilaporkan dalam perawatan di rumah sakit setempat.
"Ini bukan kasus pemerkosaan, tetapi kasus persetubuhan anak di bawah umur," kata Kapolda Sulteng Irjen Pol Agus Nugroho, dikutip dari Antara. [eta]