WahanaNews.co, Jakarta - Anies Baswedan menolak hasil kemenangan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dalam Pemilu 2024.
Timnas AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga:
Acungkan Salam Tiga Jari, Anies Kembali Jamu Pramono-Rano
Efriza, pengamat politik dari Citra Institute, menyatakan bahwa Anies Baswedan terus menyuarakan ketidakpuasannya di media sosial, yang memicu masyarakat untuk melakukan demonstrasi.
Efriza menegaskan bahwa Anies Baswedan tidak bersedia menerima kekalahan dalam kontes Pilpres 2024.
"Ini artinya Anies sebagai Capres bukan sebagai negarawan, di sisi lain dia juga tidak siap kalah," ungkap Efriza, melansir Warta Kota, Sabtu (23/3/2024).
Baca Juga:
Prabowo Tampil Berwibawa di Mata Dunia, Anies: Lawatan Internasional Sangat Produktif!
Menurut Efriza, seharusnya Anies dapat menerima hasil Pilpres 2024 yang telah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Terlebih lagi, kata Efriza, perbedaan suara antara Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dengan Prabowo-Gibran sangat besar, yakni sekitar 50 juta suara.
"Efek gugatan tujuh juta suara saya ke Mahkamah Konstitusi (MK) saja sulit, apalagi ini 50 juta suara, dan dia hanya menang di dua provinsi," tandasnya.
Efriza menambahkan bahwa Partai Nasdem sebagai pendukung Anies Baswedan pun telah menerima hasil Pilpres 2024 dari KPU RI.
Dia juga menilai bahwa pernyataan Anies tentang dugaan kecurangan dan ketidaknormalan dalam Pilpres 2024 tidak memiliki dasar yang kuat.
Sebab, Efriza menegaskan semua orang bisa memantau secara langsung melalui website dan ini bentuk transparansi KPU RI.
"Dan live streaming juga terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sampai di tingkat pusat, apa yang dilakukan KPU itu adalah demokratis," imbuhnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Relawan Pro Jokowi (ProJo) Budi Arie Setiadi mempertanyakan wacana penggunaan hak angket DPR untuk mengusut indikasi kecurangan di Pilpres 2024.
Menurut Budi Arie, selisih perolehan suara antara pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 2 Prabowo-Gibran dengan dua paslon lain sangat besar.
Sehingga, menurut dia, kecurangan tidak mungkin terjadi dan sulit dibuktikan jika selisihnya begitu besar.
"Hak angket gimana, (kalau) selisih (perolehan suara) 50 juta," ujarnya.
"Hak angket dari mana? Coba dipikirin, kecurangan dari mana, 50 juta loh selisihnya. Kalau cuma 10.000, 20.000 boleh, selisih 50 juta, sehebat apa bisa curang 50 juta? Ya hak angket buat apa?" tegas Budi Arie di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Budi Arie juga menegaskan bahwa kewenangan untuk menetapkan hak angket sebenarnya bukanlah tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab dari partai politik.
Dia kemudian mengajukan pertanyaan tentang komitmen partai untuk mengimplementasikan hak angket tersebut.
"Bukan masalah dihindari, apakah partai bersedia? Hak angket bukanlah hal yang harus ditangani oleh pemerintah, tetapi oleh partai. Karena itu adalah kewenangan DPR, partai, dan apakah partai bersedia atau tidak?" katanya dengan tegas.
Selain itu, menurut Budi Arie, tujuan dari pelaksanaan hak angket haruslah jelas.
Diperhatikan bahwa sampai saat ini belum terlihat adanya tindakan yang nyata untuk mewujudkan hak angket di DPR RI.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]