WahanaNews.co | Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengkalkulasi keuntungan yang didapat Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin (TRP) dari perbudakan di kerangkeng manusia di rumahnya.
LPSK menduga Terbit memperoleh keuntungan mencapai Rp 177,5 miliar dari praktik perbudakan modern.
Baca Juga:
Bupati Langkat Jadi Tersangka Kasus Kerangkeng, Komnas HAM Apresiasi
"Mengacu pernyataan Kapolda Sumut, bila setidaknya ada 600 korban dalam 10 tahun terakhir yang dipekerjakan oleh TRP di bisnisnya tanpa digaji, maka TRP diuntungkan dengan tidak membayar penghasilan mereka sebesar Rp 177.552.000.000 (miliar)," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi seperti dilansir dari Antara, Kamis (10/3/2022).
Edwin menjelaskan Terbit memanfaatkan situasi akut para pecandu narkotika untuk memperoleh keuntungan dengan tidak membayar mereka demi kepentingan bisnisnya. Pasalnya, tim dari LPSK menemukan banyak cerita kelam selama proses investigasi sejak akhir Januari hingga awal Maret 2022.
Tim LPSK mendapati bahwa mereka yang menjadi penghuni kerangkeng di rumah Terbit tidak akan pernah bisa pulang. Hal itu diperburuk dengan ketakutan para korban terhadap Terbit yang merupakan seorang kepala daerah.
Baca Juga:
Kasus Kerangkeng, Anak Eks Bupati Langkat Ditahan bersama 7 Tersangka Lain
"Kalau ada TRP, jangankan makan dan minum, buang air pun para korban tidak berani," ucapnya.
Dari berbagai temuan itu, Edwin menduga keras telah terjadi praktik perbudakan di kasus kerangkeng milik Terbit dengan iming-iming rehabilitasi bagi para pecandu narkotika. Bahkan, ketika ada penghuni kerangkeng yang meninggal, orang tuanya tidak dibolehkan melayat.
"Pola penguasaan total benar-benar memutus penghuni kerangkeng dari keluarganya. Bahkan ada dua orang tua dari korban yang meninggal dunia dan mereka tidak diperkenankan untuk melayat," ujar Edwin.
"Konsekuensi lain bagi para korban setelah masuk ke kerangkeng tersebut adalah nyaris tidak ada jalan untuk pulang," sambungnya.
Sementara itu, meskipun saat masuk terdapat surat pernyataan yang ditandatangani pihak keluarga dan pihak penanggung jawab kerangkeng, pada kenyataannya untuk bisa keluar dari kerangkeng hanya dimungkinkan dengan 3 cara, yakni menyuap kepala lapas (kalapas), melarikan diri, atau mati. Menurut Edwin, mereka yang kabur juga memiliki konsekuensi untuk dicari dan dijemput paksa oleh tim pemburu.
Tim pemburu tersebut ialah anak buah dari Terbit, orang suruhan Dewa, yang merupakan anak Terbit, serta oknum aparat setempat. Tim pemburu juga mengancam keluarga korban yang kabur untuk menggantikan posisi korban dalam kerangkeng. [qnt]