WahanaNews.co, Jakarta - Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P, Ribka Tjiptaning Proletariyati, menyatakan kebingungannya mengenai alasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru mengambil tindakan terkait dugaan korupsi dalam pengadaan sistem proteksi untuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI pada saat ini.
Pasalnya, kasus ini sudah berlangsung sejak tahun 2012, hampir 12 tahun yang lalu.
Baca Juga:
Mustikaningrat Tampil Memukau, Visi Ekonomi Sumedang Sugih Jadi Sorotan Debat Pilkada
Ribka mengemukakan kebingungannya setelah menjalani pemeriksaan sebagai saksi terkait kasus tersebut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Kamis (1/2/2024) kemarin.
Perlu diketahui bahwa pada periode 2011-2012, Ribka menjabat sebagai Ketua Komisi IX DPR RI, yang merupakan mitra kerja Kemenaker.
"Aku tuh sebenarnya enggak tahu. Dapat undangan ini juga enggak tahu kasusnya apa. Cuma bingung saja kenapa kasusnya diangkat baru sekarang? Itu kan sudah 12 tahun yang lalu. Jadi ditanyain banyak yang enggak tahu," kata Ribka usai pemeriksaan, melansir Kompas.com, Jumat (2/2/2024).
Baca Juga:
Sengaja Dihapus, Foto Rano Karno Bersama Terduga Kasus Judi Online Lenyap dari Instagram
Ribka lantas menyebut wajar bila ada pihak yang menyebut bahwa penanganan kasus ini sebagai kriminalisasi.
Sebab, kasus dugaan korupsi ini terjadi ketika calon wakil presiden pendamping Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar, menjabat sebagai Menakertrans.
Terlebih, tahun ini merupakan tahun politik di mana pemungutan suara terjadi pada 14 Februari 2024.
"Situasinya kan mau Pemilu, jadi pantas saja. Ya wajar, lah. Aku juga bingung sekarang kenapa baru diangkat. Ya wajar sekarang situasi sedang begini. Tiba tiba saya dipanggil. Saya ketua partai. Jadi beranggapan begitu. Saya sendiri juga beranggapan begitu," tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengaku diberondong sekitar 10-15 pertanyaan dalam pemeriksaan.
Saat pemeriksaan, Ribka sempat menjelaskan tugas pokok dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ketika membahas anggaran dengan pihak eksekutif atau pemerintah.
"Kurang lebih 10-15 lah. (Penyidik) Nanya, kenal si ini, kenal si ini. Sudah lupa semua. Cuma ku terangin tupoksinya di DPR bagaimana membahas anggaran," jelasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]