WahanaNews.co, Jakarta - Forum Wartawan Media Konsumen Indonesia (FORWAMKI) turut menyoroti polemik seputar Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang kini tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Ketua Umum FORWAMKI, KRT Tohom Purba, mengungkapkan keprihatinannya terhadap sejumlah pasal yang disebut berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi.
Baca Juga:
Alperklinas Apresiasi Pemerintah Diskon Tarif Listrik Hingga 50% bagi 97% Konsumen PLN Sampai 2 Bulan
Tohom memperlihatkan sikap tegasnya dalam membela kebebasan pers yang menjadi pilar demokrasi. Menurutnya, klausul yang menghalangi penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi merupakan pembatasan yang tidak dapat dibenarkan, bahkan bertentangan dengan prinsip utama kemerdekaan pers yang seharusnya dijunjung tinggi oleh segenap elemen bangsa.
"Saya kira, selama karya jurnalistik investigasi tersebut memegang teguh kode etik junalistik, berlandaskan data dan fakta yang benar, serta untuk kepentingan publik, tidak ada alasan untuk melarang penayangannya secara eksklusif," bebernya, Senin (13/5/2024).
Lebih lanjut, Tohom juga menyoroti ketentuan yang memuat penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca Juga:
Alperklinas Apresiasi Pemerintah Diskon Tarif Listrik Hingga 50% bagi 97% Konsumen PLN Sampai 2 Bulan
Menurutnya, hal ini bersinggungan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers.
"Penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik profesional. Contohnya, Pasal 8A huruf q dalam RUU yang dibahas DPR menyatakan KPI boleh menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Tentu, pasal ini bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999," kata dia.
Menurutnya, urusan penyelesaian sengketa pers telah diatur dalam UU Pers, demikian pula penyelesaian kasus pers yang dilakukan lembaga penyiaran.
"Berdasarkan amanat Undang-Undang Pers, salah satu fungsi Dewan Pers adalah menangani dan menyelesaikan pengaduan masyarakat terkait kasus yang berkaitan dengan pemberitaan media massa. Dalam Pasal 15, disebutkan bahwa Dewan Pers memiliki kewenangan untuk memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian atas pengaduan tersebut. Sejauh ini, penanganan sengketa yang melibatkan media penyiaran, seperti televisi, juga menjadi ranah Dewan Pers," terangnya.
Karenanya, FORWAMKI mendesak DPR untuk mengkaji ulang draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak, termasuk organisasi jurnalis dan publik.
"Saya harap, yang menjadi kekhawatiran banyak pihak terkait pasal kontroversial ini bisa jadi masukan berharga, sehingga DPR bisa menyempurnakan undang-undang, sekaligus bisa melayani dan melindungi masyarakat secara umum," katanya.
Tohom menyatakan keyakinannya bahwa baik di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini, maupun pemerintahan Presiden Prabowo di masa mendatang, tak ada upaya untuk membatasi hak-hak masyarakat dalam menyuarakan pendapat serta kebebasan untuk mengekspresikan diri, terlebih lagi dalam hal mengakses dan memperoleh informasi yang menjadi hak publik.
Sebaliknya, sambungnya, media harus terus mengawal kebijakan pemerintah.
"Dalam mengawal tata kelola pemerintahan yang baik, media justru memiliki peran sentral untuk mengawasi setiap kebijakan yang diambil, agar tepat sasaran dan selaras dengan kepentingan rakyat, sekaligus mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau penyelewengan yang dapat merugikan masyarakat luas," pungkasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]