WahanaNews.co | Sikap permintaan maaf Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada TNI atas penetapan dua anggota militer sebagai tersangka di kasus suap Badan SAR Nasional (Basarnas), dikritik keras oleh Imparsial.
"Langkah KPK meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas (Marsdya Henri Alfiandi) dan Koorsmin Kabasarnas (Letkol Adm Afri Budi) kepada Puspom TNI keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di RI," kata Direktur Imparsial Gufron Mabruri dalam keterangan tertulis, Jumat (28/7).
Baca Juga:
Terkait Penyidikan Korupsi Perangkat X-Ray, KPK Periksa PPK Barantan
Menurutnya, KPK tidak perlu meminta maaf dan harus mengusut tuntas kasus korupsi di Basarnas, dengan landasan UU KPK. Gufron menegaskan KPK bisa mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan asas lex specialist derogat lex generalis alias UU khusus mengalahkan UU umum.
Pada akhirnya, manuver KPK sekarang hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel.
Bahkan, Gufron menilai permintaan maaf dan penyerahan proses hukum kedua tersangka itu bisa menjadi jalan impunitas alias pembebasan hukuman bagi pejabat militer di Basarnas.
Baca Juga:
Anggaran Pengadaan Concrete Barrier di Terminal Senen Jakarta Pusat Diduga Mark-Up
"Sistem peradilan militer sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem hukum eksklusif bagi prajurit militer terlibat dalam tindak kejahatan dan seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana," jelasnya.
Kritik impunitas militer
Gufron menyebut skandal korupsi di tubuh Basarnas oleh prajurit TNI aktif adalah bukti lemahnya akuntabilitas dan transparansi di lembaga-lembaga militer. Menurutnya, kasus ini harus menjadi momentum evaluasi institusi yang erat dengan militer.
Ada 3 desakan yang dilayangkan Imparsial. Pertama, KPK diminta maju terus mengusut tuntas secara transparan dan akuntabel dugaan korupsi di tubuh Basarnas.
Imparsial menilai kasus ini bisa menjadi pintu masuk dugaan korupsi lain yang menyeret prajurit TNI. Jangan sampai UU Peradilan Militer menghalangi KPK membongkar skandal tersebut.
Kedua, Imparsial mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi UU Peradilan Militer yang selama ini sering digunakan sebagai alibi dan sarana impunitas prajurit TNI.
Gufron menegaskan revisi beleid ini adalah salah satu Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode pertama kekuasaannya.
Ketiga, pemerintah diminta mengevaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di berbagai instansi sipil. Sorotan utama Gufron adalah instansi yang jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan UU TNI.
"Karena hanya akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif tersebut. Seperti dugaan korupsi misalnya yang tidak bisa diusut secara cepat dan tuntas karena eksklusifisme hukum yang berlaku bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana," tutupnya.
Sebelumnya, KPK mengaku khilaf dan meminta maaf kepada rombongan petinggi TNI usai OTT dan penetapan tersangka Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi di kasus suap Basarnas.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak yang menerima audiensi rombongan petinggi TNI pada Jumat (28/7) sore mengaku ada kekeliruan dalam koordinasi kasus ini. Pasalnya, dua tersangka tersebut merupakan unsur militer.
"Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI," ujar Johanis usai audiensi dengan petinggi TNI di kantornya, Jakarta Selatan.
"Atas kekhilafan ini, kami mohon dimaafkan," imbuhnya.
Padahal, Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi sudah ditetapkan sebagai tersangka suap sederet proyek pengadaan barang dan jasa. Ia diduga menerima suap Rp88,3 miliar dari berbagai proyek sepanjang 2021-2023.
Suap itu diduga diterima Henri melalui Letkol Adm Afri Budi Cahyanto yang terjaring OTT KPK bersama 7 orang lainnya pada Selasa (25/7). [alpredo]