WahanaNews.co | Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengedepankan keadilan
restoratif (restorative justice)
dalam menyelesaikan perkara ujaran kontroversi dr Lois Owien terkait penanganan
pandemi Covid-19 di Tanah Air.
Polri mengedepankan keadilan
restoratif agar permasalahan opini seperti ini tidak menjadi perbuatan yang
dapat terulang di masyarakat.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
"Kami melihat bahwa pemenjaraan
bukan upaya satu-satunya, melainkan upaya terakhir dalam penegakan hukum, atau
diistilahkan ultimum remidium
sehingga Polri dalam hal ini mengedepankan upaya preventif agar perbuatan
seperti ini tidak diikuti oleh pihak lain," kata Direktur Tindak Pidana
Siber Bareskrim Polri, Brigjen Pol Slamet Uliadi, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (13/7/2021).
Slamet menjelaskan, dalam menjalani
serangkaian pemeriksaan intensif di kepolisian, dr Lois mengakui kesalahannya
atas sejumlah opini mengenai Covid-19.
Kepada penyidik, dr Lois yang
berstatus terduga, memberikan sejumlah klarifikasi atas pernyataannya selaku
dokter atas fenomena pandemi Covid-19 tersebut.
Baca Juga:
Perang Melawan Narkoba: Polda Sumut Ungkap 32 Kasus dan Sita 201 Kg Sabu, 272 Kg Ganja serta 40.000 butir Ekstasi
"Segala opini terduga yang
terkait COVID-19, diakuinya merupakan opini pribadi yang tidak berlandaskan
riset," kata Slamet.
Slamet menyebutkan, ada asumsi yang
dibangun sendiri oleh dr Lois, seperti kematian karena Covid-19 disebabkan interaksi obat yang digunakan dalam penanganan
pasien.
"Kemudian, opini terduga terkait
tidak percaya Covid-19, sama sekali tidak memiliki
landasan hukum. Pokok opini berikutnya, penggunaan alat tes PCR dan swab antigen
sebagai alat pendeteksi Covid-19 yang terduga katakan sebagai hal
yang tidak relevan, juga merupakan asumsi yang tidak berlandaskan riset,"
ujar Slamet.
Slamet, yang juga
ketua Satgas PRESISI Polri ini, mengatakan, terduga
(dr Lois) mengakui opini yang dipublikasikan di media sosial membutuhkan
penjelasan medis.
Namun, hal itu justru bias karena di
media sosial hanyalah debat kusir yang tidak ada ujungnya.
"Setelah dilakukan pemeriksaan
oleh penyidik, kami dapatkan kesimpulan bahwa yang bersangkutan tidak akan
mengulangi perbuatannya dan tidak akan menghilangkan barang bukti, mengingat
seluruh barang bukti sudah kami miliki," kata Slamet.
Pernyataan terduga selaku orang yang
memiliki gelar dan profesi dokter yang tidak memiliki pembenaran secara
otoritas kedokteran.
Dalam klarifikasi dr Lois, ia mengakui
bahwa perbuatannya tidak dapat dibenarkan secara kode etik profesi kedokteran.
"Yang bersangkutan menyanggupi
tidak akan melarikan diri. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk tidak menahan
yang bersangkutan, hal ini juga sesuai dengan konsep Polri menuju Presisi yang
berkeadilan," ujar Slamet.
Berkaitan dengan reproduksi konten
oleh terduga, menurut Brigjen Slamet, merupakan tindakan komunikasi yang
dimaksudkan untuk memengaruhi opini publik.
Slamet juga berharap, upaya
mengingatkan dokter ini agar bijak dalam menggunakan media sosial sebagai alat
komunikasi sosial.
"Indonesia sedang berupaya
menekan angka penyebaran pandemi, sekali lagi pemenjaraan dokter yang beropini
diharapkan agar jangan menambah persoalan bangsa. Sehingga, Polri dan tenaga
kesehatan kami minta fokus tangani Covid-19 dalam masa PPKM Darurat ini,"
kata Slamet.
Sebagai informasi tambahan, Polri
memberikan catatan bahwa terduga dr Lois dapat diproses lebih lanjut secara
otoritas profesi kedokteran, dalam hal ini oleh Ikatan Dokter
Indonesia (IDI). [dhn]