WAHANANEWS.CO, Jakarta - Insiden tertabraknya seekor biawak oleh kereta cepat Whoosh di jalur antara Padalarang dan Karawang kembali mengundang keprihatinan publik dan pakar lingkungan.
Kejadian ini bukan yang pertama dan menjadi penanda bahwa jalur kereta cepat yang megah dan modern masih menyisakan masalah serius bagi ekosistem lokal.
Baca Juga:
Tak Sekadar Rapi, Menyisir Bulu Kucing Bisa Deteksi Penyakit Sejak Dini
Peristiwa nahas itu terjadi pada Kamis (24/7/2025) di KM 86+200 rute Tegalluar Summarecon menuju Halim dan mengakibatkan keterlambatan perjalanan selama 40 menit.
Sepanjang tahun ini, tercatat sudah sepuluh ekor biawak tewas tertabrak Whoosh, sebuah angka yang menunjukkan bahwa ini bukan kasus terisolasi.
Peneliti dari Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Universitas Padjadjaran, Herlina Agustin, menyuarakan keprihatinannya dan menyebut bahwa insiden berulang ini harus menjadi alarm keras bagi PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Baca Juga:
Kompolnas Sebut Penyebab Kematian Diplomat Kemlu Sudah Jelas, Tinggal Diumumkan
"Iya, harus banget. Ini bukan cuma soal keselamatan kereta dan penumpangnya, tapi juga soal keberadaan makhluk hidup lain yang ikut terdampak pembangunan," ujarnya pada Sabtu (26/7/2025).
Menurut Herlina, fakta bahwa satwa liar bisa menembus jalur rel menandakan lemahnya sistem pengamanan lingkungan.
"Ini bukan soal satu ekor biawak aja, ini soal ekosistem," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa rel kereta cepat dibangun di atas lahan yang sebelumnya merupakan bagian dari habitat alami satwa seperti biawak, dan mereka tidak mengenal batas-batas konstruksi yang dibuat manusia.
"Bisa jadi, malah kemungkinan besar iya. Biawak itu termasuk hewan yang punya teritori. Kalau rel dibangun di bekas habitat atau jalur jelajah mereka, ya mereka tetap bakal lewat situ. Mereka nggak ngerti batas proyek atau pagar KCIC. Buat mereka, itu masih rumahnya yang dulu," jelasnya.
Walaupun biawak belum masuk dalam daftar satwa yang dilindungi, Herlina menegaskan bahwa perannya dalam ekosistem tetap penting, terutama sebagai pengendali populasi hama dan pemangsa bangkai.
"Meski belum dilindungi, bukan berarti populasinya aman-aman aja. Tekanan habitat, polusi, dan konflik dengan manusia bikin jumlahnya makin terdesak di beberapa daerah," terangnya.
Lebih lanjut, Herlina mendesak agar KCIC menyusun strategi mitigasi lingkungan secara serius dan menyeluruh, bukan hanya mengutamakan aspek teknologi dan kecepatan kereta.
"Misalnya bikin pagar yang beneran aman, sistem monitoring satwa (pakai kamera jebak, sensor gerak, atau drone), dan bekerja sama dengan ahli ekologi buat bikin koridor satwa atau jalur penyeberangan khusus," ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya keterbukaan informasi dari pihak pengelola proyek setiap kali insiden semacam ini terjadi. "Kalau ada kejadian kayak gini, jangan dianggap sepele. Karena kalau terus dibiarkan, bisa bahaya buat dua-duanya, penumpang dan satwanya," pungkas Herlina.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]