WahanaNews.co | Anak dari pesohor Nadya Hutagalung mengidentifikasi dirinya sebagai gender netral, yakni tak teridentifikasi baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Atas hal tersebut, sebagaimana dikisahkan sang ibu, saat ini nama panggilannya pun berubah dari 'Nyla' menjadi 'Alex'.
"Mereka (they) ingin nama yang lebih gender netral," tulis Nadya dalam bahasa Inggris, menjawab pertanyaan warganet soal perubahan nama anaknya.
Baca Juga:
Drama Olimpiade: Angela Carini Tumbang dalam 46 Detik, Imane Khelif Terjerat Kontroversi Gender
Orang-orang 'gender neutral' atau non-biner tidak mengidentifikasi dirinya sebagai gender biner perempuan atau laki-laki. Hal itu berbeda dengan konsep 'biner' yang mengklasifikasikan identitas gender ke dalam dua jenis, yakni laki-laki atau perempuan.
Kenapa Orang Mengidentifikasi Dirinya sebagai Gender Netral?
Psikiater dr Lahargo Kembaren SpKJ dari RSJ Marzoeki Mahdi Bogor menjelaskan identifikasi gender dipahami sebagai kesadaran seseorang terkait gendernya sendiri. Dalam hal itu, gender yang disadarinya bisa sama dengan seks atau jenis kelamin saat dia lahir, atau bisa juga berbeda.
Baca Juga:
Kementerian PPPA Dorong Sinergi Lintas Pihak untuk Pastikan Pemberitaan Berperspektif Gender
Dalam identitas gendernya, orang non-biner tidak mengidentifikasi dirinya sebagai wanita atau pria.
"Faktor-faktor yang mempengaruhi identitas seksual atau identitas gendernya, seperti salah satunya menjadi netral atau non-biner, bisa apa saja," jelasnya saat dihubungi detikcom beberapa waktu lalu.
Ada sejumlah latar belakang seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai gender netral. Salah satunya, yakni faktor biologis berkaitan dengan kromosom. Faktor kedua, yakni psikologis berkaitan dengan pikiran dan perasaan.
"Itu pertama faktor biologis, memang secara kromosom atau secara genetik mempengaruhi seksualitasnya, kedua faktor psikologis, mental kejiwaan seseorang, pikiran, mood, dan perasaan yang bersangkutan bisa mempengaruhi," imbuh dr Lahargo.
Kemungkinan penyebab selanjutnya, yakni faktor sosial. Dalam hal ini, seseorang yang berhubungan dengan orang-orang dengan pikiran yang sama terkait identitas mungkin semakin terdorong untuk mengidentifikasi gender serupa dengan orang-orang lainnya.
"Misalnya seperti apa sih kaidah yang dia pegang, kenapa dia bisa netral, atau lebih maskulin, lebih feminin? Itu bisa jadi dari bacaan-bacaan yang dia dapatkan, dari pengetahuan, dari orang lain yang berbicara mungkin," jelasnya.
"Juga ajaran agama yang dia percaya itu mengizinkan nggak ya dia seperti itu, boleh nggak ya dia seperti itu," pungkas dr Lahargo. [qnt]