WahanaNews.co | Di mana kopi diseduh, di sana ada
persahabatan.
Ucapan
Abdul Kadir Ansari, syekh Arab Saudi di abad ke-16 ini, agaknya pas dialamatkan ke Omnia Coffee, kedai kopi di
Stauffacherstrasse 105, Zurich, Swiss.
Baca Juga:
Sosok Oei Tiong Ham, 'Sugar Daddy' Sejati, Raja Gula Indonesia yang Punya 26 Anak
Paling
tidak, ketika wartawan memasuki kedai kopi di kawasan
Helvetiaplatz ini, tidak hanya secangkir kopi yang sampai di tangan
konsumennya, tapi juga kehangatan antara barista dan pelanggannya.
Pelanggan
Omnia, setelah membayar cappuccino-nya, tidak serta merta
bergegas meninggalkan kedai kopi tersebut.
Tapi, ada
yang memulai percakapan ringan. Tentang cuaca, tentang kopi, tentang Indonesia.
Baca Juga:
Kongres XVI GP Ansor di Atas Kapal Berlayar, Jokowi Sebut Unik
"Yang
datang kemari, bukan sekadar ingin ngopi. Tapi juga ingin tahu, bagaimana kopi
hangat ini sampai di tangannya," tutur Alista Oksanti, ketika ditemui wartawan.
Kopi
yang diseduh Alista, bukan sekadar kopi biasa. Memang jenis robusta atau
arabika.
"Namun
semua dari Indonesia, di-roasted-nya
juga di sana," imbuh wanita asal Semarang ini.
Alista
lalu menunjukkan beberapa bungkus kopi dari Bali, Toraja, Sumatera hingga
Flores.
"Konsumen
bisa memilih cappucino atau cafe latte, tapi bahan dasar kopinya
tetap dari Nusantara," akunya.
Dari
asal muasal kopi ini, imbuh Alisa, percakapan antara barista dan pelanggannya,
mengalir lancar.
"Saya
sampai terharu, kalau ada orang Swiss yang bersusah payah berbicara dengan
bahasa Indonesia," tutur Alista.
Tidak
jarang, ada pelanggan yang lancar bahasa Indonesia. Omnia Coffee memang didesain untuk itu.
Dari
kopi, percakapan dimulai. Jika akhirnya merambah jauh di luar perkopian, namun
biasanya tetap mengarah ke Indonesia.
"Barista
tidak hanya dituntut menyajikan kopi dengan kualitas terbaik, namun juga bisa
menceritakan asal muasal secangkir kopi hangat di tangan pelanggan," kata
Alista.
Omnia Coffee memenuhi syarat untuk menjadi
kedai dengan kisah kopi-kopinya.
Martin
Ponti, pria Swiss penggagas kedai ini, 20 tahun bergulat dengan perkopian di
Indonesia.
Bukan
hanya Bahasa Indonesianya yang lancar, namun seluk beluk kopi
Indonesia, suami Alista ini hapal luar dalam.
"Saya
pernah bekerja di perusahaan kopi di Indonesia, bagian quality control," katanya.
Martin
menyandang ahli kopi bersertikasi Q Grade
Expert, ahli kopi paling tinggi kastanya.
"Swiss
mampu menciptakan mesin kopi kelas dunia, namun umumnya mereka meminum kopi
dari mesin full otomatis," kata
Martin.
Tinggal
tekan satu tombol, tak sampai semenit, sudah ada secangkir cappucino atau espresso.
"Kalau
di Indonesia tiap rumah punya rice cooker,
di Swiss punya mesin kopi," kata Martin.
Agar
kenikmatan sejati minum kopi bisa diresapi, kata Martin, semua bahan harus
diracik saksama.
"Kehangatan
susunya harus pas. Begitu juga takaran kopinya," imbuhnya.
Di
kedai kopi ini, Martin menimbang setiap serbuk kopi yang baru saya digerus,
sebelum diseduh air panas.
Kehangatan
susu yang terukur, kata Martin, bisa menciptakan cappucino yang memendarkan rasa manis, meskipun tanpa gula.
"Memang
mesin kopi yang ada di rumah rumah Swiss sekarang sudah bagus, semua sudah
diukur otomatis. Namun kalau mau optimal ya harus tahu bagaimana meraciknya,"
kata Martin.
Jika
ada pelanggan yang ingin tahu lebih mendalam tentang peracikan kopi, Martin menawarkan
ilmunya.
"Saya
akan memberikan kursus dari penikmati kopi amatiran, sampai menjaid barista
profesional," katanya.
Mulai
dari mesin roasting kopi, hinggah
memasuki tahap akhir menjadi secangkir kopi, Martin sudah menyiapkannya.
"Saya
bahkan membawa alat roasting kopi
buatan Bali. Jadi bukan hanya kopinya dari Indonesia, tapi alat roasting-nya juga," katanya.
Pandemi
Covid-19 tidak terkecuali juga menimpa warkop Omnia. Tidak jarang, perbincangan antara barista dan pelanggannya,
tidak bisa berlangsung lama.
"Kami
hanya bisa menerapkan coffee to go,"
kata Alista.
Pelanggan
yang datang, jika pun ingin berbincang-bincang, tidak bisa terlalu lama.
Di mana
saja, setidaknya di Swiss, jika ada resto
atau cafe yang buka, hanya bisa
melayani take away.
"Begitu
juga di sini,
hanya bisa pesan dan dinikmati di luar," kata Alista.
Produk
kuliner Indonesia di Swiss, khususnya di bidang gastronomi, sepanjang catatan redaksi, kurang
begitu berhasil.
Beberapa
resto sempat berdiri, namun
kemudian bangkrut. Jika pun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
"Bisnis
restoran dan sejenisnya bukan hal mudah di Swiss. Apalagi sekarang ini ada lockdown," kata Alista.
Namun,
melihat perkembangan Omnia Coffe
setelah dibuka tiga mingguan ini, masih kata Alista, dirinya mengaku tidak
begitu khawatir.
Latar
belakang dan pengalaman kerja di berbagai hotel bintang lima di Jakarta,
membuatnya optimistis Omnia Coffee
berjalan sesuai harapan. [dhn]