WAHANANEWS.CO - Sehari setelah perayaan Thanksgiving, momentum penuh hiruk pikuk belanja justru berbalik arah melalui gerakan Hari Tanpa Belanja atau Buy Nothing Day yang mengajak masyarakat berhenti sejenak dari derasnya arus konsumerisme yang mendominasi Black Friday atau Sabtu terakhir bulan November.
Peringatan ini muncul sebagai bentuk protes global yang mengundang publik untuk merenungkan kembali dampak konsumsi berlebihan terhadap lingkungan dan kualitas hidup.
Baca Juga:
Berlomba-lomba Buat Inovasi, MARTABAT Prabowo-Gibran Dukung Solusi ITS dengan Sistem Pelacakan Sampah Digital
Ide Hari Tanpa Belanja pertama kali dicetuskan pada September 1992 oleh seniman dan aktivis Ted Dave di Vancouver, Kanada, sebagai respons terhadap meningkatnya konsumerisme yang didorong oleh iklan dan produksi massal.
Gerakan tersebut kemudian diadopsi majalah antikonsumerisme Adbusters, yang memindahkan peringatannya di Amerika Serikat ke hari Jumat setelah Thanksgiving agar bertepatan dengan Black Friday sebagai simbol protes terhadap hari belanja terbesar di negara itu.
Seiring waktu, peringatan ini menyebar secara global ke lebih dari 65 negara, dan di banyak wilayah di luar Amerika Serikat pelaksanaannya ditetapkan pada Sabtu terakhir November.
Baca Juga:
Tak Hanya Banjir, Hujan di Jakarta Kini Juga Bawa Mikroplastik Berbahaya ke Udara
Hari Tanpa Belanja memiliki makna lebih dari sekadar tidak berbelanja selama 24 jam karena gerakan ini menantang budaya yang kerap mengukur nilai seseorang dari barang yang dimiliki.
Tujuan utamanya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak lingkungan dan sosial dari pola produksi serta konsumsi yang tidak berkelanjutan, mulai dari eksploitasi tenaga kerja, tumpukan limbah plastik, hingga jejak karbon dari pengiriman massal barang.
Dengan berhenti berbelanja satu hari penuh, partisipan diajak merenungkan pola konsumsi pribadi dan mencari kepuasan dari interaksi sosial, kegiatan kreatif, serta hubungan dengan alam alih-alih kepemilikan materi.
Cara merayakan Hari Tanpa Belanja beragam, namun intinya sama yaitu menghindari aktivitas jual beli selama 24 jam dan menggantinya dengan kegiatan tanpa biaya.
Perayaan ini bertujuan menggeser fokus masyarakat dari dorongan membeli menuju aktivitas yang lebih bermakna dan berbasis komunitas sebagai pengingat bahwa ada gaya hidup lain di luar siklus konsumsi tak berujung.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]