WahanaNews.co | Cirebon, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya adalah kota-kota pesisir utara Jawa yang paling rawan terhadap penurunan tanah atau land subsidence ekstrem hingga tahun 2050.
Penurunan muka tanah di Pekalongan paling tajam, yakni 2,1 cm sampai 11 cm per tahun, disusul Surabaya dengan 0,3 cm sampai 4,3 cm per tahun.
Baca Juga:
Sahroni Desak Polisi Usut Temuan PPATK Dugaan Aktivitas Keuangan Ilegal Ivan Sugianto
Kemudian Semarang berkisar 0,9 cm hingga 6 cm per tahun, dan Kota Cirebon antara 0,1 cm hingga 4,3 cm per tahun.
Sementara Bandung dan DKI Jakarta, masing-masing berkisar 0,1 cm - 4,3 cm per tahun dan 0,1 - 8 cm per tahun.
Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan, mengungkapkan hal itu dalam diskusi virtual bertajuk Ancaman Tenggelamnya Kota Pesisir Pantai Utara Jawa, Apa Langkah Mitigasinya?, Kamis (16/9/2021).
Baca Juga:
Politikus Partai Nasdem Temui Ivan Sugianto Pelaku Pengintimidasi Anak Sekolah
Kondisi morfologi daerah pesisir yang relatif datar membuat hampir seluruh aktivitas pembangunan infrastruktur jalan dan perekonomian dipusatkan di utara Jawa.
Hal itulah yang menjadikan tanah terbebani.
Sebab, keberadaan bangunan dan penggunaan air tanah menjadi lebih intensif dibandingkan dengan wilayah lain.
Selain itu, penurunan muka tanah ini, menurut Eddy, juga disebabkan laju kenaikan air laut.
Meskipun belum tinggi, namun, dia mencoba melakukan penghitungan lain.
"Saya mencoba menghitung dan hasilnya ketemu sekitar 0,25 meter atau 25 cm pada 2050 mendatang (kenaikan muka air laut global). Jakarta mungkin lebih dari itu," kata Eddy.
Menurut Eddy, terkait skenario data, perlu kehati-hatian.
Karena masih perlu kajian lebih lanjut dengan simulasi lengkap dan spesifik sesuai dengan kondisi Indonesia.
Khususnya kawasan Pantura.
Fenomena turunnya permukaan tanah di pesisir utara Pulau Jawa lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan selatan Jawa yang struktur geologinya cenderung berbukit.
"Untuk itu, upaya mitigasi dengan kebijakan penggunaan air tanah, penanaman mangrove, dan pencegahan perusakan lingkungan harus segera dilakukan," cetusnya.
Oleh karena itu, terendamnya kota-kota di pesisir Pantura Jawa patut menjadi perhatian serius.
Hal itu berpotensi terjadi seiring dampak dari perubahan iklim.
Perubahan iklim yang dimaksud yakni terjadinya kenaikan permukaan air laut serta pergeseran tektonik.
Pakar Iklim dan Meteorolog BRIN dan Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC, Edvin Adrian, menyampaikan, proyeksi menunjukkan bahwa permukaan laut regional rata-rata terus meningkat setiap tahunnya.
"Kenaikan air laut secara global itu hanya 3,60 milimeter per tahun. Tapi kalau kita lihat sejarahnya Jakarta lebih jauh dari itu," katanya.
Edvin menegaskan, kenaikan air laut tak lepas dari fenomena mencairnya es di kutub bumi dan pemuaian air laut karena pemanasan global.
Sehingga mengakibatkan penambahan volume air laut, serta meningkatnya intensitas dan frekuensi banjir yang menggenangi wilayah daratan.
Akan tetapi, faktor yang memiliki peran besar dalam potensi terendamnya kawasan Pantura Jawa secara keseluruhan adalah penurunan muka tanah.
"Dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim yang disebabkan aktivitas manusia menyebabkan tingkat banjir yang lebih tinggi termasuk yang terjadi pada pesisir utara Pulau Jawa," tuntas dia. [dhn]