WahanaNews.co | Kota Pangkalpinang, Kepulauan
Bangka Belitung, memiliki banyak bangunan bersejarah.
Salah
satunya adalah tempat beribadah umat muslim, Masjid Jami, yang
terletak di pusat Kota Pangkalpinang.
Baca Juga:
Versi Quick Count: Dua Anak Yusril Kalah di Pilkada 2024
Masjid
yang dibangun menggunakan tanah wakaf pada tahun 1936 itu menjadi representasi
kuatnya budaya gotong royong nenek moyang.
Sejarawan
Pangkalpinang, Akhmad Elvian, mengatakan, Masjid Jami dulunya berupa bangunan kayu, sebagaimana
lazimnya bangunan tempo dulu.
Kemudian,
dilakukan renovasi dan perluasan menggunakan material batu dan semen yang dianggap
lebih kokoh.
Baca Juga:
Korupsi Tata Niaga PT Timah, 3 Eks Kadis ESDM Babel Dituntut 6 Hingga 7 tahun Penjara
Dalam
proses pembangunan itu, sumbangan mengalir dari berbagai pihak.
Termasuk
dari kalangan etnis Tionghoa yang beragama non-muslim.
"Kubah
pertamanya itu dibangun dari sumbangan firma Ko Kian Lan. Firma yang cukup
berkembang waktu itu di Pangkalpinang," kata Elvian, saat
berbincang dengan wartawan, Sabtu (1/5/2021).
Elvian
menuturkan, renovasi masjid dan pembangunan tahap pertama berlangsung selama
1950 hingga 1954.
Bangunan
masjid diperluas dengan ukuran 30 x 30 meter yang bisa menampung sekitar 2.000
jamaah.
Pada
Juli 1951, Masjid Jami dikunjungi tokoh Proklamator sekaligus Wakil Presiden,
Muhammad Hatta.
Ketika
itu, Bung Hatta ikut menyumbang pembangunan masjid senilai Rp
1.000.
Sederet
nama lain yang berperan dalam pembangunan Masjid Jami yakni KH Mas'ud Nur, yang
bertindak sebagai ketua panitia.
KH
Mas'ud Nur merupakan tokoh kharismatik di Bangka yang sekaligus menjabat
sebagai penghulu di Pangkalpinang.
Kemudian, ada
nama KH Suhaimi dan Hadi Susilo, yang merupakan karyawan tambang timah.
Hadi
Susilo berperan membuat desain masjid yang bertahan hingga saat ini.
Selain
itu, ada sumbangan dari seorang warga untuk pembangunan menara
pertama.
Sumbangan
itu diterima setelah warga tersebut menerima uang hasil penjualan tanah di
daerah Air Itam, yang sekarang menjadi kompleks perkantoran gubernur dan
organisasi vertikal.
"Jadi
memang masjid ini hasil swadaya masyarakat dari semua etnis dan golongan.
Bahkan pada periode 1950-an itu tidak hanya masjid Jamik yang sedang dibangun,
tapi juga ada Gedung Nasional yang diresmikan 1953," ujar Elvian, yang
juga mantan Kepala Dinas Pariwisata Pangkalpinang.
Penulis
buku Kampoeng di Bangka ini
menambahkan, sebagian bangunan masjid masih memerlihatkan arsitektur model
lama.
Itu
bisa ditemukan pada seluruh jendela dan pintu masjid.
Kusen
kayu besar dengan bentuk melengkung dipadukan dengan engsel dan pengait besi
model lama yang masih berfungsi dengan baik hingga saat ini.
Selain
itu, ada material kaca buram, tiang dan teras marmer yang berdiri
kokoh dan terus dipertahankan.
Masjid
Jami memiliki sirkulasi udara alami yang didukung banyaknya jendela besar di
seluruh bagian bangunan.
Saat
ini, Masjid Jami diperkirakan mampu menampung hingga 5.000
jamaah.
Didukung
ketersediaan ruangan dalam masjid dan pekarangan yang cukup luas.
Pada
bagian pojok kanan masjid, terdapat tempat duduk dan meja batu berwarna putih.
Tempat
ini menandai lokasi awal berdirinya Masjid Jami.
Di situ
juga terpasang plakat beraksara Arab Melayu yang menjelaskan pembangunan di
tanah wakaf dengan angka tahun 1936.
Warga
kota, khususnya para pekerja, menjadikan Masjid Jami sebagai
tempat ibadah sekaligus melepas penat di tengah hiruk pikuknya suasana
perkotaan.
Masjid
yang dominan dicat warna hijau ini menggelar ibadah secara rutin dengan
menerapkan protokol kesehatan. [dhn]