WahanaNews.co | Presiden Republik
Indonesia kelima,
Megawati Soekarnoputri, menceritakan pengalamannya saat menjadi pembawa bendera pusaka
pada upacara peringatan HUT ke-19 RI tahun 1964.
Saat
itu, Megawati membawa bendera pusaka asli yang dijahit ibunya, Fatmawati.
Baca Juga:
Pantau Kasus Polisi Tembak Siswa Semarang, Natalius Pigai Utus Tim
"Saya
pun sebetulnya Purna-(Paskibraka) juga. Karena saya pernah menjadi seperti
kalian. Pembawa bendera pusaka," kata Megawati, saat memberikan pengarahan
kepada Purna-Paskibraka Duta Pancasila di Istana Merdeka, sebagaimana
ditayangkan YouTube Sekretariat
Presiden, Rabu (18/8/2021).
"Kalau
saya waktu itu, Alhamdulillah, masih
asli. Saya yang membawa," ujar Megawati.
Megawati
lantas mengungkapkan sejarah bendera Merah Putih.
Baca Juga:
Kepala Badan Kesbangpol Terima Dua Paskibraka Tingkat Nasional Asal Provinsi Papua Barat Daya
Menurut
dia, warna merah dan putih diambil dari umbul-umbul pada zaman kerajaan
Majapahit.
Saat
itu, umbul-umbul yang digunakan mengambil warna merah dan putih
dari gula kelapa.
"Merah
artinya berani, putih suci. Jadi bukan sembarangan. Yang menjahit bendera kebetulan
ibu saya. Ibu Fatmawati," ucap Megawati.
Ketua
Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini pun mengungkapkan,
ibunya menjahit bendera pusaka saat Indonesia masih dijajah Jepang.
Dia pun
pernah bertanya, apakah ibunya tidak takut menjahit bendera di masa
penjajahan?
"Siapa
yang tidak takut. Cerita soal bendera pusaka itu juga tidak ada (jarang
diceritakan) bahwa (bendera) pernah dipisah (setelah dijahit). Ini sejarah
Republik Indonesia," tutur Megawati.
"Jadi, waktu
sebelum kemerdekaan, ibu saya disuruh bapak saya (Soekarno), ini bukannya
nostalgia. Ini sejarah. Ibu saya disuruh menjahit, mencari warna merah itu ternyata
sulit," kata dia.
Kebetulan, pada
saat itu, ada seorang pengusaha Jepang di Indonesia, Shimizu, yang
membantu mencarikan kain warna merah.
"Jadi,
dijahit oleh ibu saya. Itulah yang pertama dikibarkan di Gedung Pegangsaan
Timur, yang sekarang disebut Gedung Proklamasi," kata
Megawati.
Bendera
pusaka dijahit oleh Fatmawati pada Oktober 1944, dua minggu sebelum kelahiran
putra sulungnya, Guntur Soekarnoputra.
Ia
menjahit bendera itu setelah Jepang mengizinkan pengibaran bendera Merah Putih
dan dikumandangkannya lagu Indonesia Raya.
Meski
demikian, tak mudah baginya untuk mendapatkan kain tersebut.
Beruntung, ia
mendapatkan bantuan dari Shimizu, orang yang ditunjuk oleh Pemerintah Jepang
sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia.
Harian Kompasedisi 16 Agustus 1975
memberitakan, kain tersebut diantarkan langsung ke rumah Bung Karno di Jalan
Pegangsaan Timur.
Karena
kondisi kandungannya sudah mendekati kelahiran, dokter melarang Fatmawati untuk
menggunakan mesin jahit kaki.
Ia pun
terpaksa menjahit bendera itu dengan kedua tangannya.
Bendera
itu pun selesai dijahit dalam dua hari dan menjadikannya sebagai yang terbesar
di Jakarta setiap kali dikibarkan di halaman rumahnya.
Setahun
kemudian, bendera hasil jahitan Fatmawati itu digunakan ketika upacara
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Namun,
ketika Belanda menduduki Yogyakarta pada 1948, diceritakan bendera pusaka
terpaksa dibelah menjadi dua oleh Mutahar, yang ditugaskan Soekarno untuk
menyelamatkannya.
Baru
setelah keadaan aman, bendera itu dijahit kembali seperti semula. [dhn]