WahanaNews.co | TB Simatupang, Letjen Purnawirawan asal Sidikalang, Dairi, Sumatera Utara, merupakan salah satu konseptor peletak dasar-dasar kemiliteran Indonesia.
Pria kelahiran 28 Januari 1920 ini jadi penerus Panglima Besar Jenderal Soedirman sebagai KSAP (Kepala Staf Angkatan Perang) RI.
Baca Juga:
Letjen TB Simatupang dan DR Liberty Manik, Diantara 10 Putra Terbaik Sidikalang Dairi
Karier militer Simatupang diawali saat ia masuk ke Koninklijke Militaire Academie (KMA) Bandung pada tahun 1940. Setelah menempuh pendidikan selama 2 tahun, Simatupang lulus sebagai perwira muda.
Tahun 1945 setelah Indonesia merdeka, Simatupang bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dia mempunyai keunggulan di bidang organisasi dan manajemen ketentaraan.
Simatupang turut bergerilya bersama Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman melawan pasukan Belanda.
Baca Juga:
Hari Ini Dalam Sejarah, Lahirnya Pahlawan Nasional dari Dairi
Dalam perjalanan perang gerilya, Simatupang kerap diolok-olok sebagai “diplomat kesasar” karena selama gerilya, ia hampir tidak lepas dari setelan celana abu-abu dan kemeja buatan luar negeri yang dipakainya, ketika ia menjadi penasihat militer dalam Perundingan .
Selama perang tersebut, ia diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (WKSAP) RI pada tahun 1948 hingga 1949.
Dengan kedudukannya itu, Simatupang ikut mewakili TNI dalam delegasi Republik Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Misi utama yang dijalankan adalah mendesak Belanda membubarkan KNIL dan mengukuhkan TNI sebagai kekuatan inti Angkatan Perang RI.
Pada 17 Oktober 1952 terjadi gelombang massa demonstrasi di Jakarta yang menuntut pembubaran parlemen.
Peristiwa tersebut terjadi akibat perbedaan pandangan di internal militer Indonesia.
Terdapat keinginan rasionalisasi tentara sesuai fungsi dan keinginan tentara tetap memainkan fungsi ganda yaitu politik yang sebelumnya telah disetujui oleh DPRS.
Hal itu juga yang memunculkan serbuan untuk membubarkan DPRS.
Ketika banyak anggota militer menjadi pimpinan politik, KSAP TB Simatupang dan KSAD Abdul Haris Nasution berkeinginan mengembalikan tentara sesuai fungsinya.
Namun, pemikiran itu tidak didukung oleh Kolonel Bambang Supeno. Akhirnya Supeno mengirimkan surat ke parlemen untuk mencabut jabatan AH Nasution lantaran tidak puas dengan kinerja yang diberikan.
Internal militer terpecah dan DPRS turut andil dalam memberikan mosi terhadap masalah internal militer.
AH Nasution menilai mosi yang diberikan terlalu intervensi terhadap masalah TNI. Tepat 17 Oktober 1952 itu, Nasution bersama 30.000 demonstran unjuk rasa di Istana Merdeka.
Tank, meriam, dan persenjataan artileri dihadapkan ke Istana. Mereka mendesak agar parlemen dibubarkan dan konflik dalam tubuh militer segera diakhiri.
Pada tahun 1953, Presiden Soekarno mengurangi wewenang Simatupang di Angkatan Darat dan menghapus jabatan KSAP (saat ini Panglima TNI ).
Hal itu lantaran perbedaan pandangan mengenai pembubaran parlemen (DPRS) pada 17 Oktober 1952.
Selain itu, Simatupang dinilai pro gerakan 17 Oktober dan melakukan ‘setengah kudeta’ terhadap Soekarno.
Setahun kemudian, Simatupang diangkat sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI. Pada 21 Juli 1959, Simatupang mengundurkan diri dari dinas kemiliteran dan memilih aktif dalam kegiatan gereja dan menulis buku.
Melalui tulisan, ia membekali perwira-perwira di sekolah militer. Buku pertama yang ia tulis adalah 'Laporan dari Banaran'. Buku ini mengisahkan tentang perannya dalam Revolusi Kemerdekaan.
TB Simatupang meninggal pada tahun 1990 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan.
Pada 8 November 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya. [dhn]