WahanaNews.co | Soekarno, Presiden Pertama Indonesia, lahir
dari pasangan suami-istri Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai,
perempuan asal Bali yang berkasta Brahmana.
Kisah
cinta Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai berawal dari Pulau Bali.
Baca Juga:
Sikapi Berbagai Isu Miring, Kemenko Polhukam Panggil Pengelola PIK
Dalam
autobiografinya yang disusun Cindy Adams, Bung
Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2011), Soekarno bercerita jika ayahnya
berasal dari Jawa dan berasal dari keturunan Sultan Kediri.
Sementara
ibunya, yang ia sebut Idayu, adalah keturunan bangsawan, dan Raja Singaraja terakhir adalah
paman dari Idayu.
Menurut
Soekarno, kakek dan moyangnya dari pihak ibu adalah pejuang
kemerdekaan yang gugur dalam Perang Puputan di daerah Pantai Utara Bali, yakni
Kerajasaan Singaraja.
Baca Juga:
Jokowi dan Suara Parpol soal Amandemen UUD
Paman
sang ibu, yakni Raja Singaraja, yang terakhir ditangkap oleh
Belanda dan diasingkan ke tempat pembuangan.
Belanda
kemudian menduduki istana dan merampas milik kerajaan hinggga keluarga ibu Soekarno
melarat.
Hal
tersebut, kata Soekarno, membuat kebenciang sang ibu kepada Belanda tak habis-habis.
Sementara
nenek dari nenek Soekemi memiliki kedudukan setingkat di bawah seorang putri
yang berjuang mendampingi Pangeran Diponegoro.
"Dengan
menunggang kuda, dia berjuang di belakangnya, sampai menemui ajalnya dalam Perang Besar Jawa yang berkobar
dari tahun 1825 sampai 1830," kata Soekarno.
Guru Bertemu Gadis Pura Hindu
Dalam
autobiografinya, Soekarno mengatakan, sang ibu menceritakan kepadanya bagaimana Soekemi muda
menaklukkan hatinya.
Saat
masih muda, Soekemi yang bekerja sebagai guru sekolah rendah di Singaraja jatuh cinta
pada Idayu, gadis muda yang bertugas membersihkan pura Hindu Budha setiap pagi
dan petang.
Sebagai
guru, Soekemi kerap datang ke air mancur di muka pura untuk menikmati
ketenangan.
Suatu
hari, dia bertemu dengan Idayu dan kerap bertemu gadis itu setiap
datang ke pura.
Sore
demi sore pun berlalu.
Soekami
mulai berani menegur Idayu dan berbicara sedikit pada gadis itu.
"Ibu
menjawab. Segera dia merasa tertarik kepada ibu, dan begitu
sebaliknya," jelas Soekarno.
Sesuai
adat, Soekemi mendatangi orangtua Idayu dan meminta dengan sopan gadis Bali itu
menjadi istrinya.
"Mereka
menjawab, "Oh tidak bisa. Engkau berasal dari Jawa dan engkau
beragama Islam. Tidak, sekali-kali tidak! Kami akan kehilangan anak kami","
kata Soekarno, menirukan cerita ibunya.
Kala
itu, sampai jelang Perang Dunia II, tak ada satu pun perempuan Bali yang
menikah dengan orang luar.
Karena
perbedaan, mereka pun memilih kawin lari.
Kala
itu, kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu.
Sepasang
kekasih sebelumnya menginap di rumah salah seorang sahabatnya.
Lalu
dikirimkanlah utusan ke rumah orangtua mempelai perempuan untuk memberitahu jika anak gadisnya akan
melangsungkan pernikahan.
Mengetahui
hal tersebut, keluarga Idayu menemui Kepala Polisi yang juga sahabat ayah
Idayu.
"Keluarga
Ibu datang menjemputnya, tetapi Kepala Polisi itu berkata, "Tidak, dia berada dalam lindungan
saya"," ulang Soekarno.
Pasangan
muda tersebut kemudian menjalani persidangan.
Idayu
Rai ditanya, "Apakah laki-laki ini (Soekemi) memaksamu? "Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas
kemauan saya sendiri"," kata Ida Ayu Nyoman Rai, seperti diceritakan Soekarno
kemudian.
Pasangan
ini lalu tak bisa dilarang lagi.
Pengadilan
menjatuhkan denda kepada Idayu sebesar 25 ringgit, senilai dengan 25 dolar.
Untuk
membayar denda, Idayu muda menjual perhiasannya.
Pernikahan
mereka berlangsung sekitar tahun 1897, dan anak pertama mereka, Soekarmini, lahir di Singaraja, 13 Maret 1898.
Soekemi
kemudian mengajukan pindah ke Jawa.
Ia dan
keluarganya kemudian tinggal di Surabaya, tepatnya di Pandean, yang kini
menjadi bagian dari Kampung Peneleh.
Di
kampung itulah Soekarno lahir, pada 6 Juni 1901, bersamaan dengan meletusnya Gunung Kelud.
Saat Soekarno
berusia 6 tahun, Soekemi mengajak keluarganya pindah ke Mojokerto.
Lalu
mengajar di Blitar sebagai guru sejak 2 Februari 1915.
Ida Ayu
Nyoman Rai meninggal pada 12 September 1958, dan suaminya, Soekemi, meninggal
pada 18 Mei 1945.
Mereka
berdua dimakamkan di Blitar, berdampinggan dengan makam putranya, Soekarno. [dhn]