Sekalipun termasuk dalam tradisi batik gagrag (model) Yogyakarta, Batik Pakualaman menjadi khas karena pernah bersentuhan dengan gagrag Surakarta.
Sejak 2011, Batik Pakualaman mendapat pengayaan karena motif-motif baru yang bersumber dari naskah-naskah kuno koleksi Perpustakaan Widyapustaka Kadipaten Pakualaman.
Baca Juga:
Perajin Batik Kediri Harap Pemerintah Fasilitasi Penjualan dan Tenaga Kerja
Dalam launching buku tersebut, ditampilkan tarian Tyas Muncar (hati yang cerah memancar) yang diciptakan oleh KGPAA Paku Alam X.
Tarian ini akhirnya menjadi nama dari Rumah Batik Tyas Muncar di Pakualaman. Rumah Batik Tyas Muncar dimaksudkan menjelaskan pancaran hati remaja puteri saat proses membatik.
Menurut GKBRAA Paku Alam, buku ini sudah lama menjadi angan-angannya. Hanya saja, buku ini terhambat beberapa kendala termasuk karena pandemi Covid. Sehingga dalam komunikasi di antara ketiga penulis dan juga tim pendukung agak sulit.
Baca Juga:
Kanwil Kemenkumham Sulteng: Penampilan Elon Musk Dengan Batik Bomba Mendunia
Belum lagi, dijelaskan lebih lanjut, buku ini didukung oleh tim kerja yang terdiri dari tim batik dan tim naskah.
“Saya, Bu Sakti dan Pak Dibyo harus kerja keras untuk menyelesaikan buku ini. Dan, proses buku dan mewujudkan batik harus sinkron. Semuanya berawal dari pembacaan naskah dari kitab Asta Brata, yang ada di perpustakaan Kadipaten Pakualaman. Kitab Asta Brata itu berisi nilai-nilai luhur yang terkait dengan kepemimpinan,“ ujar GKBRAA Paku Alam.
Yang dimaksud dengan Bu Sakti adalah Dr. Sri Ratna Saktimulya yang dalam buku tertulis nama Nyi. M.T. Sestrorumi. Sementara yang disebut Pak Dibyo adalah Sudibyo yang dalam buku tertulis K.M.T. Widyo Hadiprojo.