Dirinya, kisah permaisuri Paku Alam X ini, sangat mencintai batik. Dan, itu tumbuh dari eyang (kakek-red) yang tinggal di Batang-Pekalongan. Eyang dunianya adalah batik dan dirinya dibesarkan dalam lingkungan itu termasuk juga ikut belajar membatik. Setelah diambil menantu oleh KGPAA Paku Alam IX, dirinya melihat ada bangsal batikan di Pakualaman.
Akhirnya, dirinya diizinkan untuk menggunakan bangsal batikan. Dan dari situlah, GKBRAA Paku Alam itu mulai secara serius melihat naskah-naskah kuno di Puro Pakualaman.
Baca Juga:
Perajin Batik Kediri Harap Pemerintah Fasilitasi Penjualan dan Tenaga Kerja
“Sungguh luar biasa. Saya langsung jatuh cinta dengan naskah-naskah luhur yang ada di Puro. Saya langsung jatuh cinta, dari mata menuju hati. Saya melihat nilai-nilai luhur yang ada dalam Astabrata itu secara filosofi sangat berguna untuk masyarakat. Dari situlah kemudian, saya memulai mewujudkan nilai-nilai Astabrata melalui media batik yang motifnya berasal dari Astabrata itu juga,” jelasnya.
GKBRAA Paku Alam mengaku merinding ketika pertama kali memulai memilih naskah yang akan dituangkan dalam media batik. Semua ditulis dan Digambar dengan tangan.
Oleh karenanya, nilai luhur yang terkandung dalam naskah-naskah kuno tesebut juga diperkuat dengan tulisan dan gambar. Ditulis dengan tangan. Sehingga nilai luhur itu sangat kuat dan sangat filosofis.
Baca Juga:
Kanwil Kemenkumham Sulteng: Penampilan Elon Musk Dengan Batik Bomba Mendunia
Diurai lebih lanjut, dirinya sangat fokus dengan ide batik dari naskah kuno di tengah-tengah kegiatannya yang padat.
Sehingga dalam pelaksanaannya, selain juga terjun membatik, dirinya juga dibantu oleh tim pustaka dan tim batik. Menghadapi naskah yang telah berusia 200 tahun menuntut keseriusan, tidak main-main dan juga membutuhkan cinta untuk melestarikannya.
“Saya teringat dengan tagline dari KGPAA Paku Alam X saat penobatan yakni pengembang kebudayaan. Tagline inilah yang kemudian menjadi roh dalam pelestarian budaya. Yang pertama adalah, pelestarian naskah kuno dan kedua adalah batik sebagai budaya Indonesia,” pungkas GKBRAA Paku Alam.