Pemancar
ini dikenal dengan sebutan Radio Kambing
karena pernah disembunyikan pejuang Radio Republik Indonesia dan tentara nasional
di kandang kambing Desa Balong, lereng Gunung Lawu, saat Agresi Militer Belanda II
pada 1948.
Pengunjung
juga bisa beranjak ke masa lalu dengan membaca koran atau majalah kuno di
Monumen Pers Nasional.
Baca Juga:
Percepat Target Transisi Energi, PLN Siap Kembangkan Sejumlah Skenario Agresif
Salah
satunya adalah Slompret Melayu. Koran
berbahasa Melayu ini terbit 5 Juni 1888 pada masa Hindia Belanda. Di dalamnya berisi berita-berita
dari berbagai daerah.
"Harga beras di kota Ambon mencapai 7-8
gulden dan jagung 2-3 gulden setiap satu pikulnya. Sementara dari Bali dan
Lombok dikabarkan terjadi lindu atau gempa bumi sampai sepuluh kali sehari pada
tanggal 29 Mei, namun tidak terlalu besar dan tidak menyebabkan gunung Batur
bergolak," tulis website resmi Monumen Pers Nasional.
Koleksi
lainnya adalah majalah Djawa Tengah
Review terbitan Juli 1929. Dalam penulisannya, majalah ini memakai bahasa
Melayu China.
Baca Juga:
Percepat Target Transisi Energi, PLN Siap Kembangkan Sejumlah Skenario Agresif
Isinya
bervariasi dan banyak menampilkan foto pada masa itu. Mulai dari foto pintu gerbang pasar
malam beraksitektur China, foto Candi Gedong Songo.
Terdapat
juga foto-foto dari luar negeri, misalnya potret demonstrasi laki-laki dan
perempuan di Ueno Park, Jepang, yang menuntut pemerintahan bersih.
Monumen
Pers Nasional juga memiliki perpustakaan dan ruang baca media cetak/digital.