WahanaNews.co | Desas desus merger Gojek dan Tokopedia akhirnya terjawab.
Kedua perusahaan itu akhirnya membenarkan kabar yang telah beredar di publik sejak
setahun terakhir, dengan pengumuman merger menjadi Grup GoTo pada Senin
(17/5/2021).
Baca Juga:
Fasilitasi Transportasi Dinas Karyawan, PLN Gandeng Pihak GoTo
GoTo diklaim menjadi kolaborasi usaha
terbesar di Indonesia, sekaligus kolaborasi terbesar antar
dua perusahaan internet dan layanan media di Asia pada saat ini.
Nantinya, kedua perusahaan akan saling
melengkapi untuk berbagai layanan kepada konsumen, mulai dari e-commerce, pengiriman barang dan
makanan, transportasi, hingga keuangan.
Aksi korporasi ini coba dibaca oleh
Peneliti Center of Innovation and Digital
Economy Indef, Nailul Huda.
Baca Juga:
Fasilitasi Transportasi Dinas Karyawan, PLN Gandeng Pihak GoTo
Menurut Huda, merger Gojek dan
Tokopedia memang mau tidak mau perlu dilakukan karena persaingan di sektor
ekonomi digital Indonesia semakin mengerucut ke pemain besar.
Dominasinya bahkan sudah menembus ke
level Asia Tenggara (ASEAN).
Pertama, ada SEA Group dengan salah satu
lini usahanya e-commerce Shopee.
Kedua, kolaborasi usaha dari Grab,
OVO, dan EMTEK.
Nah, Gojek dan Tokopedia berusaha
menjawab tantangan ini melalui aksi merger.
"Pembentukan GoTo ini saya rasa
tujuannya adalah menyaingi SEA Group dan Grab dkk yang menguasai pasar ekonomi
digital di ASEAN," kata Huda kepada wartawan.
Menurut Huda, bila tujuannya bersaing
di pasar Asia Tenggara, GoTo punya potensi untuk meningkatkan pangsa pasar dan
valuasinya.
Prediksinya, nilai valuasi merger GoTo
bisa mencapai US$ 20 miliar sampai US$ 25 miliar atau setara Rp 284
triliun hingga Rp 355 triliun (kurs Rp 14.200 per dolar AS).
"Meski ini masih jauh
dibandingkan (prediksi valuasi) SEA Group mencapai US$ 120
miliar, namun jika strateginya manjur, maka IPO (penawaran saham ke publik di
bursa saham) bisa (membuat valuasi) menjulang tinggi, terutama jika bisa
menguasai pangsa pasar di Indonesia, yang merupakan pangsa pasar terbesar
di ASEAN," jelasnya.
Tapi, kalau ingin bersaing di pasar
Asia, menurut Huda, potensi untuk menjadi raja masih cukup sulit.
Sebab, suka tidak suka, faktanya,
dominasi para perusahaan digital China masih menjadi yang paling kuat di Asia.
"Unicorn di ASEAN belum bisa bersaing dengan raksasa digital semacam
Alibaba. GoTo juga masih jauh sepertinya," tuturnya.
Hal yang sama juga diamini oleh ekonom Indef lainnya, Bhima Yudhistira Adhinegara.
Menurut Bhima, tantangan di level Asia
sangat besar, karena ada pemain seperti Alibaba dan
Tencent.
"Masih sulit diperkirakan kalau
level Asia, tapi kalau di Asia Tenggara mungkin (pangsa pasar dan valuasi) bisa
cukup meningkat pascamerger, itu pun harus waspada dengan Shopee dan Grab yang mungkin
lakukan merger," ucap Bhima.
Bhima melihat, merger
GoTo saat ini lebih ditujukan untuk melengkapi berbagai layanan yang bisa
diberikan kedua perusahaan kepada konsumen.
Pasalnya, Gojek punya kelebihan dari
jasa on-demand dan sistem pembayaran
digital.
Sementara Tokopedia menjadi pemain
besar di sektor e-commerce.
Berbagai hal ini yang coba digabungkan
agar semakin kuat menjadi satu grup, sehingga layanan pun bisa terintegrasi
kepada konsumen.
"Ini memang menjadi momentum
untuk meningkatkan market share Gojek
maupun Tokopedia secara signifikan atau besar," ujar Bhima.
Lepas dari seluk beluk merger dan
potensi GoTo di level Asia Tenggara hingga Asia, tentu lebih konkret jika bicara apa sebenarnya dampak merger kedua perusahaan bagi
konsumen di dalam negeri?
Bhima melihat, ada
beberapa simulasi dampak.
Pertama, usai merger, bila perusahaan
jadi melakukan penawaran saham ke publik (Initial
Public Offering/IPO), maka pendanaan yang mereka himpun bisa lebih besar.
Pada kondisi ini, ada dua kemungkinan,
yaitu bisa saja meningkatkan promo hingga diskon tarif kepada pengguna.
Sebab, semakin banyak sumber dana yang
bisa "dibakar untuk memenangkan hati pasar".
Tapi, karena IPO, ada pertanggungjawaban
ke publik, bisa juga sebaliknya.
Promo hingga diskon jadi terbatas, karena perusahaan harus berorientasi kepada profit alias
keuntungan, karena sahamnya sudah dipegang oleh publik.
"Maka promonya sendiri itu
mungkin akan berkurang karena sudah berorientasi pada profitabilitas, apalagi
nanti kalau sudah mulai dibuka ke publik, IPO, tuntutan dari investor publik
akan lebih banyak mendorong untuk mencari profitabilitas. Ini yang nanti jadi
pertanyaan, apakah konsumen akan loyal? Ini akan terlihat beberapa bulan atau
tahun ke depan," ungkap Bhima.
Kedua, menurut Bhima, usai merger, ada
kemungkinan kedua perusahaan akan lebih mengembangkan kelogistikan yang
terintegrasi, sehingga tetap ada potensi layanan ongkos kirim alias ongkir jadi
lebih murah bagi pengguna.
Khususnya untuk pengiriman barang
belanjaan di Tokopedia, karena bisa memanfaatkan jaringan
kelogistikan dari Gojek.
Ketiga, sistem pembayaran dan pinjam
meminjam (peer-to-peer lending) bisa
jadi semakin kuat dan gencar ditawarkan ke pengguna.
"Jadi ke depan, sangat mungkin
orang beli barang di Tokopedia bisa menggunakan skema kredit dari Gopay, jadi
dia tidak hanya sistem pembayaran tapi juga P2P karena sudah ada PayLater," terangnya.
Selain tiga hal itu, ada pula dampak
negatif dari merger ini.
Belajar dari perkembangan perusahaan
digital di China yang dikuasai oleh segelintir pemain besar, hal ini bisa
memicu terciptanya persaingan yang kurang sehat.
"Ini bisa mengulang kasus di
China, mungkin tidak mirip, tapi hampir sama, di mana salah satu kelemahan
sistem digital yang terintegrasi ke segelintir pemain, itu bisa menghambat
inovasi pemain baru. Masalah lain antitrust terkait monopoli pasar
digital," katanya.
Menurutnya, bila pasar digital sudah
terlanjur dikuasai pemain besar, maka pemain kecil akan sulit berkembang.
Sekalipun mereka berani masuk ke pasar
dan punya inovasi yang bagus, belum tentu hal itu dilirik pasar, karena sudah bergantung pada ekosistem yang lebih luas dari pemain-pemain
besar.
"Ini membuat switching cost orang untuk pindah dari satu platform ke platform lain
menjadi mahal, sulit," imbuhnya.
Sementara, Huda
melihat, dampak jangka pendek merger Gojek dan Tokopedia sudah pasti akan
menguntungkan konsumen.
Sebab, mereka akan semakin mengambil
hati pasar dulu.
"Konsumen akan diuntungkan dengan
adanya persaingan dalam hal harga, seperti diskon, gratis ongkir, hingga cashback, yang saya rasa masih akan
digunakan untuk bersaing," tutur Huda.
Tapi dalam jangka panjang, menurutnya,
cara bersaing yang seperti ini justru tidak sehat.
Pasalnya, hanya dirajai oleh
pemain-pemain besar saja. [dhn]