WAHANANEWS.CO, Jakarta - Orang yang berpenampilan menarik atau sering disebut good looking ternyata memiliki kecenderungan untuk lebih sukses dibandingkan mereka yang berpenampilan biasa.
Penelitian mengungkapkan bahwa beauty privilege dapat memberikan keuntungan besar, baik dalam urusan asmara, ekonomi, maupun karier.
Baca Juga:
Aming Tampil Religius Pakai Peci dan Baju Koko, Baim Wong: Nah Ganteng Neh!
Berbagai penelitian menunjukkan pola yang sama: mereka yang menarik secara fisik sering kali mendapat perlakuan istimewa dalam kehidupan.
Salah satu penelitian berjudul "The Labor Market Return to an Attractive Face" (2012) membuktikan hal ini di dunia kerja.
Peneliti mengirimkan 11.000 CV dengan foto pelamar yang tingkat daya tariknya bervariasi ke berbagai lowongan pekerjaan.
Baca Juga:
Simak! Ini 5 Kandungan Skincare yang Meminimalisir Efek Buruk Polusi Udara
Hasilnya, pelamar yang memiliki wajah menarik lebih sering dipanggil ke tahap berikutnya, bahkan hingga lolos tahap akhir.
Sebaliknya, pelamar berpenampilan biasa atau yang tidak melampirkan foto cenderung tidak dilanjutkan proses rekrutmennya.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa karyawan good looking memiliki peluang lebih kecil untuk dipecat, sementara mereka yang kurang menarik secara fisik berada dalam posisi rentan untuk diberhentikan.
Di industri hiburan, dampak fenomena ini lebih nyata. Laporan dari Vice menunjukkan bahwa orang berwajah menarik lebih mampu menarik perhatian publik.
Fokus yang seharusnya pada konten sering kali bergeser pada pesona fisik pembuat konten, yang membuat konten mereka viral dalam waktu singkat.
Sayangnya, publik sering lupa bahwa kualitas konten lebih penting dibanding sekadar paras. Di media sosial, fenomena ini menjadi sangat mencolok.
Misalnya, jika seseorang dengan penampilan biasa terlibat kasus, netizen cenderung melayangkan kritik pedas.
Namun, jika yang tersandung masalah adalah orang berwajah tampan atau cantik, reaksi netizen jauh lebih lunak, bahkan terkadang justru membela.
Mengapa Ini Terjadi?
Fenomena ini berakar pada standar kecantikan yang dianut masyarakat. Standar tersebut membentuk klasifikasi sosial tentang siapa yang dianggap menarik atau tidak.
Padahal, konsep ini bersifat subjektif, karena tidak ada aturan pasti untuk menentukan seseorang good looking atau tidak.
Secara psikologis, fenomena ini disebut Efek Halo. Menurut Judy Ho, seorang ahli neuropsikologi dari University of California, Efek Halo adalah bias kognitif yang terjadi ketika seseorang menilai karakteristik positif lainnya pada orang yang memiliki satu kelebihan menonjol, seperti wajah menarik.
Sebagai contoh, seseorang yang baru bertemu Farah—seorang perempuan berwajah cantik dan berpakaian rapi—cenderung menganggap Farah sebagai sosok cerdas, baik, dan memiliki banyak teman.
Padahal, persepsi ini muncul tanpa dasar yang jelas dan sering kali keliru. Judy menjelaskan bahwa Efek Halo adalah cara manusia memahami dunia dengan cepat, meskipun sering menghasilkan bias.
Meskipun memiliki dampak negatif, pandangan istimewa terhadap good looking sulit dihilangkan karena sudah tertanam dalam psikologi bawah sadar manusia.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]