"Temuan kami menunjukkan bahwa, meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi untuk berselingkuh saat bergantung secara ekonomi, pria cenderung lebih mungkin terlibat dalam perselingkuhan daripada wanita," tambahnya.
Baca Juga:
Polisi Biadab di Makassar, Dipergoki Selingkuh Lalu Seret Istri di Jalanan Pakai Mobil
Menurut Munsch, hal ini didasari karena secara historis laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah keluarga. Laki-laki yang bergantung secara ekonomi kepada istri merasa "dikebiri" alias kehilangan maskulinitas oleh istrinya yang menjadi pencari nafkah.
Oleh karena itu, pria cenderung terlibat dalam perilaku selingkuh yang dianggap sebagai tindakan "maskulin" sebagai respons terhadap rasa sakit yang mereka alami akibat tergerusnya maskulinitas mereka.
Sementara itu, wanita yang memegang peran sebagai pencari nafkah memiliki potensi lebih rendah untuk terlibat dalam selingkuh. Menurut Munsch, secara tradisional, wanita bergantung pada suami untuk dukungan, sehingga wanita yang mencari nafkah merasa kurang terancam dengan perubahan status quo.
Baca Juga:
Dugaan Penistaan Agama, Polda Metro Jaya Panggil Istri Pejabat Kemenhub
Dalam usaha untuk menjaga hubungan, wanita dengan pendapatan lebih tinggi justru sangat berhati-hati agar tidak merusak perasaan dan harga diri suaminya.
"Wanita pencari nafkah sangat menyadari bahwa mereka melanggar norma, sehingga mereka melakukan tindakan yang dapat meningkatkan maskulinitas suaminya," ungkap Munsch.
"Contohnya, seorang istri mungkin memberikan kartu kredit kepada suaminya, sehingga saat makan di restoran, suaminya akan berperilaku seolah-olah dia yang membayar," tambahnya.