Oleh MARFASRAN HENDRIZAN
Baca Juga:
BMKG Kalsel Intensifkan Edukasi Masyarakat Terkait Peningkatan Suhu Signifikan Lima Dekade Terakhir
PEMANASAN global selain berdampak pada perubahan iklim juga berdampak
pada perubahan muka laut.
Perubahan
iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, angin, frekuensi badai tropis,
fenomena iklim dan lain lain.
Baca Juga:
Buka Indonesia International Sustainability Forum 2024, Presiden Jokowi Sampaikan Strategi Penanganan Perubahan Iklim
Indonesia
merupakan benua maritim yang memiliki laut (65 %) lebih luas daripada daratan
dengan garis pantai yang terpanjang kedua di dunia, yaitu 108.000 km.
Hampir
sebagian besar kota besar di Indonesia merupakan kota pesisir Medan, Padang,
Surabaya, Makasar, Semarang bahkan ibukota Jakarta.
Jumlah
dan pertumbuhan penduduk yang tinggi sebagian besar dijumpai di wilayah
pesisir.
Wilayah
pesisir ini merupakan wilayah yang rentan terhadap kenaikan muka air laut.
Kenaikan
muka laut merupakan potensi ancaman bencana bagi wilayah pesisir dan tentu akan
memiliki konsekuensi ekonomi.
Indonesia
yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia dengan penduduk yang sebagian
besar tinggal di wilayah pesisir, sudah seharusnya menyadari akan ancaman
bencana dari kenaikan muka air laut.
Pengetahuan
dan pemahaman tentang perubahan permukaan laut menjadi sangat perlu untuk
mendukung kegiatan mitigasi dan adaptasi.
Perubahan
permukaan laut disebabkan karena faktor alamiah seperti tektonik, pemuaian air
laut karena kenaikan suhu permukaan laut, karena badai tropis dan mencairnya
es, selain juga faktor antropogenik seperti eksploitasi air tanah yang
berlebihan.
Memahami
perubahan permukaan laut memerlukan pemahaman historis perubahan permukaan
laut.
Data
instrumental terlalu pendek untuk sepenuhnya memahami hal tersebut dan
menangkap terjadinya peristiwa langka, tetapi paling merusak.
Hal ini
dapat diatasi melalui studi iklim dan oseanografi masa lampau (paleoseanografi
dan paleoklimatologi) yang mampu menghasilkan data oseanografi maupun
klimatologi dari kisaran waktu masa kini sampai masa lampau hingga jutaan
tahun lalu.
Sehingga,
dapat sepenuhnya dipahami kaitan antara perubahan iklim, mencairnya es dan
perubahan muka air laut.
Sedimen
laut merupakan salah satu arsip alam mampu merekam perubahan iklim dan
permukaan laut dalam kisaran waktu dari ribuan hingga jutaan tahun dengan
resolusi puluhan hingga ratusan ribu tahun.
Objek
penelitian dalam sedimen laut adalah foraminifera, organisme bersel satu
(protista) dengan komposisi cangkang kalsit (CaCO3) berukuran 100 μm hingga 20
cm.
Kandungan
foraminifera plankton mampu memberikan informasi suhu dan salinitas sedangkan
batimetri masa lampau dapat diperoleh dari hasil interpretasi berdasarkan data
foraminifera bentos, yang selanjutnya digunakan untuk interpretasi perubahan
muka air laut.
Foraminifera
bentos yang dijumpai dalam sedimen laut sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan ataupun ekologi termasuk perubahan muka laut.
Kelimpahan
spesies foraminifera bentos tertentu dapat menunjukkan kisaran kedalaman air
laut tertentu, dengan tambahan analisis isotop oksigen foraminifera bentos
tersebut yang kemudian dikoreksi dengan perubahan volume air laut global dan
perubahan suhu air laut dalam didapatkan nilai perubahan muka laut relatif di
suatu daerah penelitian.
Berdasarkan
rekaman sedimen laut dari wilayah paparan Sunda menunjukkan pada kondisi
lampau, yaitu pada pada periode glasial terakhir maksimum atau dikenal dengan
last glacial maximum (LGM) (yaitu periode 21-18 ribu tahun yang lalu), wilayah bagian
barat Indonesia pernah merupakan daratan yang luas atau lebih dikenal sebagai
Sunda daratan (Sundaland).
Pada
periode glasial terakhir maksimum ini, perubahan muka laut global berkurang
hingga ± 120 m dibandingkan tinggi muka laut sekarang.
Pada
periode 18.000 hingga 10.000 tahun lalu atau deglasiasi terakhir, tinggi muka
laut global naik akibat pencairan es di kutub karena dampak pemanasan global
dengan kondisi Sunda daratan mulai tenggelam secara bertahap yang kemudian
dikenal paparan Sunda (Sunda Shelf).
Pada
Holosen (10.000 hingga 0 tahun yang lalu, 0 tahun lalu merupakan awal masa
pra-industri tahun 1950) sebagian Sunda daratan ada dibawah muka laut seperti
sekarang.
Pada
saat ini (1.500 tahun lalu), kondisi sebagian paparan Sunda yang sebelumnya laut
kembali menjadi daratan seperti contohnya di Belitung.
Rekaman
iklim dari sedimen laut di Selat Makassar menunjukkan Sunda daratan pada saat
LGM merubah pola salinitas permukaan laut di wilayah Indonesia.
Perubahan
salinitas air laut terjadi akibat adanya peningkatan curah hujan menyebabkan
aliran air tawar dari sungai-sungai di paparan Sunda mengalir secara langsung
ke lautan, berdasarkan rekaman ini dapat dipahami mengenai perubahan
stratifikasi dan sirkulasi Arlindo pada saat belum ada pengaruh aliran air
tawar dari Laut Cina Selatan (LCS).
Pada
kondisi masa sekarang Sunda daratan sebagian sudah tenggelam akibat kenaikan
muka laut global dan terbentuknya koneksi Laut China Selatan dengan Laut Jawa,
sehingga input air tawar dari LCS juga mempengaruhi salinitas air laut di
wilayah Indonesia.
Rekaman
sedimen laut dari Laut Timor dan Selat Makassar menunjukkan pada 9.500 tahun
yang lalu, pengaruh aliran air tawar dari Laut Cina Selatan masuk ke wilayah
perairan Indonesia melalui Laut Jawa ketika sebagian paparan Sunda sudah
tergenang.
Berdasarkan
data ini maka akan dipahami dinamika Arlindo di mana ketika paparan sunda membentuk daratan yang luas dan di mana ketika paparan sunda tenggelam
yang akhirnya aliran air tawar dari Laut China Selatan mempengaruhi variabilitas salinitas di perairan
Indonesia.
Hasil
rekaman stalagmit menunjukkan bahwa pada periode LGM perubahan muka laut
memberikan suplai uap air yang lebih banyak naik ke atmosfer dan menyebabkan
hujan lebih tinggi ketika muka air laut global naik berdasarkan studi stalagmit
di Flores.
Namun,
studi terkait perubahan iklim yang dihubungkan dengan perubahan muka laut pada
LGM memberikan hasil yang berbeda antara arsip terrestrial (sedimen danau dan
stalagmit) dan arsip sedimen laut.
Arsip
sedimen danau dan stalagmit di Flores, Sulawesi, dan Kalimantan menunjukkan
kondisi kering di wilayah Indonesia.
Hasil
tersebut dianggap mirip dengan model iklim pada LGM yang mana paparan Sunda
yang luas menyebabkan berkurangnya awan konveksi pembentuk hujan di wilayah
paparan Sunda akibat dari melemahnya sirkulasi Walker.
Namun,
hasil dari sedimen laut di Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Flores, dan
bagian barat Sumatera menunjukkan bahwa pada periode LGM curah hujan tinggi di
wilayah paparan Sunda karena menguatnya sirkulasi Walker.
Terdapatnya
perbedaan hasil dari rekaman arsip alam yang berasal dari darat (stalagmit,
sedimen danau) dan laut (sedimen laut) di wilayah Indonesia menunjukkan, masih
diperlukan penelitian dan pengkajian lebih banyak dan mendalam mengenai
paleoseanografi dan paleoklimatologi di wilayah Indonesia pada periode LGM,
sehingga sejarah perubahan iklim terkait perubahan muka laut dapat semakin
dipahami. (Marfasran Hendrizan, Peneliti Muda Kelompok Penelitian Iklim dan
Lingkungan Purba Geoteknologi LIPI, kandidat doktor sains Kebumian ITB)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perubahan
Iklim dan Kaitannya dengan Perubahan Muka Laut dalam Perspektif Masa
Lampau", Klik untuk baca:www.kompas.com/sains/read/2021/08/13/130500023/perubahan-iklim-dan-kaitannya-dengan-perubahan-muka-laut-dalam-perspektif.