WahanaNews.co, Jakarta - Dalam kehidupan sehari-hari, nasi jadi elemen tak terpisahkan dari kuliner Indonesia. Ketergantungan masyarakat Indonesia pada nasi bukanlah sekadar kebiasaan, melainkan sebuah cerita panjang yang mencerminkan perubahan sejarah dan kebijakan pangan.
Bagaimana perjalanan ini dimulai, dan mengapa nasi menjadi makanan pokok yang mendominasi di setiap meja makan di Tanah Air?
Baca Juga:
Tips Mengonsumsi Nasi Bagi Pengidap Diabetes
Artikel ini akan membahas fenomena unik ini, menjelajahi sejarah, kebijakan, dan perubahan sosial yang membentuk pola makan masyarakat Indonesia serta mengapa nasi begitu mendalam meresap dalam kehidupan sehari-hari.
Mari kita simak lebih lanjut bagaimana warga Indonesia dapat sampai pada tingkat ketergantungan makan nasi yang begitu tinggi!
Melansir CNBC Indonesia, sejarawan Fadly Rahman menyebut ketergantungan ini sudah berlangsung sejak zaman kuno, tepatnya sebelum abad ke-10 Masehi.
Baca Juga:
Alasan Nasi Dingin Lebih Sehat untuk Penderita Diabetes
"Masyarakat Jawa Kuno sudah banyak mengonsumsi beras. Ini bisa dibuktikan pada naskah-naskah kuno dan relief-relief candi. Mereka sudah mulai membudidayakan padi," ungkapnya.
Penggunaan padi tidak hanya terbatas pada masyarakat umum atau rakyat jelata, melainkan juga melibatkan para raja.
Perbedaannya hanya terletak pada jenis beras yang mereka tanam. Meskipun begitu, pada masa kuno, variasi pangan lain juga ada, tidak hanya sebatas beras, yang diolah dan dikonsumsi.
"Selain mengonsumsi nasi, penduduk pada masa itu juga mengembangkan dan mengonsumsi tanaman seperti ubi, singkong, sagu, dan jawa wood yang saat ini dikenal sebagai sorgum. Dikatakan bahwa kata 'jawa' sendiri berasal dari 'jawa wood,' yang merupakan sebutan lain untuk sorgum," ungkap sejarawan ahli kuliner tersebut.
Keberadaan varietas pangan tersebut biasanya menyesuaikan dengan lokasi. Sebut saja di Indonesia Timur yang lazim mengonsumsi sagu.
Atau beberapa daerah di Jawa yang juga menyantap ubi atau singkong. Intinya, varietas pangan selain beras ini juga rutin dikonsumsi masyarakat kuno dan belum ada hegemoni atau dominasi beras.
Dominasi beras baru terlaksana sejak periode kolonialisme dimulai di Indonesia. Kata Fadly, pemerintah kolonial mendorong terjadinya pergeseran produksi pangan.
Selama periode kolonialisme, pemerintah kolonial aktif melakukan ekstensifikasi beras di seluruh wilayah untuk kepentingan sendiri ihwal kebutuhan tenaga kerja pribumi.
"Pemerintah pada dasarnya melihat komoditas yang dibutuhkan. Saat itu, mereka melakukan ekstensifikasi beras karena nasi adalah konsumsi masyarakat umum, khususnya para pekerja dan kuli yang bekerja untuk pemerintah," ujarnya.
Semua ini mencapai puncaknya pada abad ke-19. Dalam periode ini, berbagai kebijakan seperti preangerstelsel, culturstelsel (tanam paksa), dan liberalisasi 1870 mulai menyebabkan variasi pangan lokal terpinggirkan. Semua ini secara perlahan digantikan oleh beras.
Perjalanan panjang tersebut menciptakan ketergantungan masyarakat pada beras dan nasi. Pada masa Soekarno, upaya diversifikasi atau pengenalan variasi pangan pernah dilakukan.
Soekarno berusaha agar masyarakat Indonesia tidak hanya terpaku pada konsumsi nasi, tetapi juga mencakup panganan lain seperti sagu atau jagung sesuai dengan kekayaan wilayah masing-masing.
Namun, kebijakan tersebut berubah saat Soeharto berkuasa. Melalui program revolusi hijau, Fadly menjelaskan bahwa Soeharto melakukan standarisasi pangan masyarakat untuk sepenuhnya mengonsumsi beras.
Alasan Lainnya
Selain itu, beberapa sumber menyebutkan, alasan perut warga Indonesia ketergantungan pada nasi adalah karena sebagai berikut:
1. Warisan Budaya
Ketergantungan perut orang Indonesia pada nasi memiliki akar yang dalam dalam warisan sejarah dan budaya. Sejak zaman prasejarah, nasi telah menjadi makanan pokok yang ditanam dan dikonsumsi di kepulauan ini.
Budaya bertani dan pangan pokok berbasis padi telah melibatkan seluruh masyarakat, menciptakan hubungan yang kuat antara nasi dan identitas nasional Indonesia.
Ritual pangan yang mengutamakan nasi dalam berbagai acara kehidupan sehari-hari, mulai dari upacara adat hingga perayaan, turut membentuk kebiasaan makan yang terkandung dalam jiwa masyarakat.
2. Nilai Gizi dan Energi Tinggi
Selain aspek budaya, ketergantungan pada nasi juga dapat dilihat dari nilai gizi dan energi yang tinggi yang dimilikinya.
Nasi adalah sumber karbohidrat utama yang memberikan energi yang dibutuhkan tubuh untuk beraktivitas. Keberagaman jenis nasi, seperti nasi putih, merah, atau kuning, memberikan variasi nutrisi penting, termasuk serat, vitamin, dan mineral.
Kandungan yang kaya ini membuat nasi menjadi pilihan logis untuk memenuhi kebutuhan gizi harian, memberikan rasa kenyang, dan mendukung aktivitas fisik yang tinggi di tengah kehidupan sehari-hari yang penuh aktivitas.
3. Ekonomi dan Aksesibilitas
Ketergantungan pada nasi juga dapat dilihat dari segi ekonomi dan aksesibilitas.
Padi adalah tanaman yang relatif mudah ditanam dan memiliki siklus panen yang relatif cepat, menjadikannya pilihan yang ekonomis untuk diusahakan.
Sebagai hasilnya, nasi menjadi sumber karbohidrat yang terjangkau bagi masyarakat. Keberlanjutan produksi dan ketersediaan nasi sepanjang tahun membuatnya menjadi pilihan yang praktis dan terjangkau, mendukung keberlanjutan kehidupan sehari-hari bagi banyak orang Indonesia.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]