Semua pendapatannya habis untuk makanan, perawatan medis, pakaian dan biaya sekolah untuk anak-anaknya.
"Ibu kewalahan, pekerjaannya menghancurkannya, kami membantu di mana kami bisa, seperti memasak dan mencuci, tetapi dia masih memikul seluruh beban untuk keluarga. Saya kasihan padanya," kata anak sulungnya Ivan Kibuka (23), yang harus putus sekolah.
Baca Juga:
Kisah Kepedulian AKBP Eddy Mashuri: Sambut dan Antarkan Fatimah Zahra untuk Pengobatan Tumor
Menurut data World Bank, tingkat kesuburan di Uganda memang terbilang tinggi. Setiap ibu rata-rata bisa melahirkan 5-6 anak. Data ini bahkan lebih dari dua kali lipat rata-rata tingkat kesuburan di dunia, yakni 2-4 anak.
Hanya saja, Nabatanzi menyadari bahwa dirinya tidak seperti wanita lain di negara asalnya tersebut.
Ketika terus melahirkan anak kembar, Nabatanzi memeriksakan diri ke klinik kesehatan. Dokter kemudian memberi tahu bahwa Nabatanzi memiliki ovarium yang besar dan tidak normal. Kondisi ini membuat dirinya mengalami hiperovulasi.
Baca Juga:
Pasangan Suami Istri di Jepang Pernah Diam Membisu Selama 20 Tahun, Ternyata Ini Alasannya
Alat kontrasepsi bahkan disebut tak akan bisa mengatasi hiperovulasi. Bahkan, bukan tak mungkin kondisi ini bisa memicu masalah kesehatan lain yang lebih parah.
Hiperovulasi memang bisa diobati, tetapi pengobatan dan perawatan masih sulit didapat di wilayah pedesaan Uganda.
Dokter spesialis obstetri dan ginekologi di Uganda, Charles Kiggundu mengatakan bahwa penyebab paling mungkin dari kondisi hiperovulasi yang dialami Nabatanzi adalah faktor genetik.