WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di saat teknologi menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan modern, masih ada komunitas yang hidup menyatu dengan alam secara ekstrem.
Salah satunya adalah Suku Bajo, kelompok etnis maritim yang dikenal dengan kemampuan menyelam luar biasa hingga kedalaman 70 meter hanya dengan sekali tarikan napas.
Baca Juga:
Surat Purnawirawan Gegerkan Senayan, Jokowi: Pemakzulan Ada Syaratnya
Kemampuan ini bahkan menginspirasi karakter Suku Metkayina dalam film Avatar: The Way of Water karya James Cameron.
“Mereka adalah contoh nyata dari adaptasi manusia terhadap lingkungan ekstrem,” ujar Melissa Ilardo, peneliti dari University of Utah yang mempelajari genetika penyelam Bajo.
“Ini adalah bukti hidup bahwa evolusi masih terjadi dalam skala mikrogenetik.”
Baca Juga:
Baru Masuk Sel, Tersangka Cabul Dihajar 7 Tahanan hingga Tewas! Ini Kata Polisi
Siapakah Suku Bajo?
Suku Bajo, juga dikenal sebagai Bajau, Sama, atau Badjaw, adalah masyarakat pesisir yang hidup di atas air dan bergantung sepenuhnya pada laut.
Mereka dulunya hidup nomaden di atas perahu, menggunakan bintang sebagai penunjuk arah.
Kini, banyak yang tinggal di rumah-rumah panggung di atas laut dangkal, membentuk kampung-kampung terapung.
Dengan mayoritas mata pencaharian sebagai nelayan, keahlian menyelam menjadi warisan turun-temurun.
Anak-anak Bajo sejak kecil diajarkan menyelam untuk menangkap ikan, gurita, atau mencari kerang, menjadikan aktivitas bawah laut sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Asal Usul dan Penyebaran
Diperkirakan berasal dari Kepulauan Sulu di Filipina Selatan, Suku Bajo telah menyebar ke berbagai negara seperti Malaysia, Thailand, dan Indonesia.
Di Indonesia sendiri, mereka tersebar di perairan Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, hingga Maluku dan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang dikenal sebagai pusat pemukiman terbesar mereka.
Kampung Terapung dan Kehidupan Laut
Pemukiman Bajo di Indonesia memiliki kesamaan: rumah-rumah kayu yang berdiri di atas air dan dihubungkan dengan jembatan kayu.
Perahu mereka terparkir layaknya kendaraan pribadi di depan rumah, siap digunakan kapan saja untuk mencari nafkah di laut.
Beberapa komunitas besar mereka dapat ditemukan di Teluk Tomini (Sulawesi Tengah), Kepulauan Sula (Maluku Utara), Pulau Bungin (NTB), hingga Pulau Wangi-Wangi (Wakatobi).
Kemampuan Menyelam yang Menakjubkan
Penelitian kolaboratif dari University of Copenhagen dan University of California, Berkeley, menemukan fakta mencengangkan: mereka punya limpa ajaib! Ya, limpa orang Bajo rata-rata 50 persen lebih besar dari manusia normal.
Fungsi limpa sebagai penyimpan sel darah merah membuat mereka dapat menyimpan lebih banyak oksigen dalam darah saat menyelam.
Menurut Ilardo, keunikan ini adalah hasil dari mutasi genetik yang diturunkan secara alami selama ratusan tahun karena seleksi lingkungan.
“Mereka secara biologis lebih siap untuk bertahan dalam kondisi hipoksia (kekurangan oksigen),” jelasnya.
Dan memang, tak ada alat bantu modern yang digunakan saat menyelam, hanya kacamata kayu buatan tangan yang mencegah air masuk ke mata.
Kemampuan ini tidak didapat dalam semalam. Sejak usia dini, anak-anak Bajo sudah dilatih menyelam dan memancing oleh orang tua mereka, menciptakan siklus regenerasi keahlian yang nyaris tak putus.
Suku Bajo adalah saksi hidup betapa kuatnya adaptasi manusia ketika hidup berdampingan dengan alam.
Mereka bukan sekadar "manusia laut", melainkan warisan budaya dan biologis yang langka, bahkan bagi dunia ilmiah modern.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]