Petinggi VOC, sedari masa Jan Pieterszoon Coen terus menjaga moral orang Belanda di tanah jajahan. Gubernur Jenderal VOC dua kali --1619-1623 dan 1627- itu ingin menjadikan orang Belanda sebagai contoh teladan di negeri koloni.
Ketaatan itu membuat VOC terus melanggengkan agenda keagamaan. Mereka mengajak seluruh orang Belanda aktif menasranikan budaknya. Itulah yang kemudian dilakukan saat Belanda merebut Malaka dari tangan Portugis pada 1641.
Baca Juga:
Ramai Diperbincangkan di Media Sosial, Ternyata Ini Arti Istilah ‘Jodoh Spek VOC’
Budak-budak dari Malaka di bawah ke Batavia bak tahanan perang. Alih-alih mereka dibenci, orang Belanda justru bertindak bak juru selamat.
Kaum budak yang dikenal sebagai Portugis Hitam itu ditawarkan hak istimewa, asalkan mau berpindah agama: dari Katolik ke Protestan.
“Baik Kompeni maupun generasi pertama para penjajah berpendapat, tugas utama mereka adalah menasranikan budak-budak mereka sesegera mungkin, mengikuti teladan Nabi Ibrahim, yang menurut kitab Injil, juga menganggap dan memperlakukan budak-budaknya sebagai anggota keluarganya sendiri. Di kota-kota seperti Batavia, Malaka, Colombo, dan Tanjung Harapan, pembaptisan memberikan hak kepada para budak untuk menikah, dikubur secara nasrani dan menerima warisan: suatu kedudukan sosial dan legal dalam sebuah masyarakat nasrani.”
Baca Juga:
Kenali Keindahan Benteng Amsterdam di Pinggir Pantai Negeri Hila Maluku
“Oleh karena itu, pebaptisan tidak hanya perlu dilakukan untuk menyelamatkan jiwa seseorang, tetapi hanya perlu dilakukan untuk menumbuh kembangkan masyarakat nasrani yang tertib. Membuat orang memeluk agama nasrasi indentik dengan pembauran; tujuan ini hendak dicapai oleh gereja dan juga oleh pemerintah,” ungkap Sejarawan Hendrik E.
Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).
Perpindahan agama itu buat budak-budak dibebaskan. Mereka pun dikenal sebagai kaum Mardijker (budak yang dibebaskan).