WahanaNews.co | Sosok Nyai Dasima menjadi legenda. Menurut cerita, dia pernah
hidup di Jakarta masa silam.
Apakah Nyai Dasima benar-benar pernah
ada?
Baca Juga:
Soal Ridwan Kamil Ditolak Warga Jakarta Timur, Kubu RK Buka Suara
Kisah soal perempuan pribumi yang
menjadi istri dari pria Eropa bernama Edward W (Tuan W) itu menjadi perhatian
khalayak umum sejak diterbitkan dalam novelet (novel pendek) karya Gijsbert
Francis tahun 1896. Judulnya Tjerita Njai Dasima.
G Francis menceritakan, Nyai Dasima hidup bersama Tuan W di tahun
1813, atau berjarak 83 tahun dari terbitan tulisan Francis sendiri. Nama-nama
lokasi pun disebut.
Nyai Dasima berasal dari Kampung
Kuripan. Setelah menjadi "istri" Tuan W,
Nyai Dasima kemudian tinggal di Curuk Tangerang.
Baca Juga:
Sylviana Murni Usul RUU DKJ Atur Kuota Khusus Warga Betawi Maju Pilgub
Pasangan ini tidak lama tinggal di
Curuk, dan segera pindah ke Betawi, atau sekarang disebut sebagai
Jakarta.
Berikut adalah lokasi tokoh-tokoh
dalam kisah Nyai Dasima di Jakarta:
1. Nyai Dasima dan Tuan W: Gambir
2. Tempat kerja Tuan W: Kota
3. Samiun, Hayati, Saleha: Pejambon
4. Puasa (pembunuh Nyai Dasima):
Kwitang
Nama-nama lokasi itu memang ada di
Jakarta. Namun, untuk Nyai Dasima sendiri, sebagian
orang menganggapnya pernah benar-benar ada, sebagian ahli menganggap Nyai
Dasima hanya tokoh rekaan.
Yulitin Sungkowati dari Balai Bahasa
Surabaya menulis dalam Jurnal Metasastra
dengan judul "Resepsi Pembaca Terhadap Tjerita Njai
Dasima".
Dia menjelaskan, Nyai Dasima tidak
sepenuhnya fakta.
"Nyai Dasima menjadi tokoh yang
hidup di antara fakta dan fiksi. Sebagian orang menganggapnya benar-benar
nyata, sedangkan yang lain meragukannya," kata Yulitin Sungkowati dalam
Jurnal Metasastra.
Ensiklopedia Sastra Indonesia
Kemdikbud menjelaskan, kisah Nyai Dasima adalah gosip yang berkembang
berdasarkan isu populer di berbagai surat kabar Hindia-Belanda Abad 19, yakni
berita-berita tentang nyai atau gundik pribumi orang Belanda.
"Cerita-cerita tentang 'nyai'
biasanya berbentuk cerita kriminal tentang berbagai kejahatan yang terjadi pada
masa itu. Hal tersebut terjadi karena kisah-kisah tersebut ditulis oleh
wartawan dan berasal dari liputannya di pengadilan-pengadilan yang sedang
menyidangkan berbagai kejahatan. Kasus-kasus kejahatan yang diangkat ada yang
sangat populer, seperti kisah Nyai Dasima, sehingga dapat dikatakan bahwa
kisah-kisah tersebut merupakan salah satu bentuk kisah-kisah rumor dan gosip
yang beredar di masyarakat luas yang kemudian karena ketenarannya
dibukukan," demikian penjelasan di Ensiklopedia Sastra Indonesia.
Pakar sastra dari Universiti Malaya,
Umar Junus, menulis di Jurnal Humaniora
UGM.
Dia membahas Nyai Dasima dalam
laporannya yang berjudul Nyai Dasima and
The Problem of Interpretation: Intertextuality, Reception Theory and New
Historicism.
Umar Junus mengatakan, Francis
menuliskan kisah Nyai Dasima berdasarkan sumber ingatan dan keterangan orang
lain.
Tulisan Francis dengan konteks cerita
yang diceritakannya berjarak 83 tahun.
Francis merangkai kisah Nyai Dasima
dalam kerangka ideologi kolonialisme, bahwa pribumi itu buruk dan orang Eropa
adalah baik, meski hal ini tidak secara eksplisit disampaikan dalam novelet Tjerita Njai Dasima.
"Segala hal dalam kisah Nyai
Dasima ada dalam ideologi Francis yang mengambil sikap oposisi terhadap
orang-orang yang terasosiasi dengan gerakan nasionalis menentang kolonialisme
Belanda," tulis Umar Junus.
Sementara itu, Ketua Bidang Penelitian dan
Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, berpendapat, Nyai Dasima benar-benar ada di masa lalu. Nyai
Dasima bukan tokoh fiksi.
"Saya meyakini cerita ini
benar-benar terjadi pada masanya. Tapi karena cerita ini menjadi sangat
menyentuh hati, maka cerita ini diolah sedemikian rupa dalam seni-seni
pertunjukan dan akhirnya dianggap sebagai cerita fiktif," kata Yahya
kepada wartawan, awal
Desember 2020 lalu.
Nyai Dasima dianggap fiktif bukan
karena dia tidak ada, melainkan karena terlalu sering diangkat ke dunia
pertunjukan lenong.
Pada era kolonial, cerita Nyai Dasima
menjadi materi andalan tukang dongeng yang disebut sebagai "sohibul hikayat".
Selanjutnya, kisah Nyai Dasima
diangkat berkali-kali ke dunia film.
"Sehingga, orang
menyangka cerita ini fiktif belaka. Padahal yang sesungguhnya, cerita ini benar-benar terjadi di Tanah Betawi," kata Yahya. [qnt]