"Hasil analisis saya terhadap data Pendataan Keluarga 2021 (PK21) dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa 0,6 persen penduduk Kota Manado terlibat dalam kohabitasi," jelas Yulinda, dikutip Senin (28/10/2024).
Dari pasangan kohabitasi tersebut, 1,9 persen sedang hamil, 24,3 persen berusia di bawah 30 tahun, 83,7 persen berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6 persen tidak bekerja, dan 53,5 persen bekerja di sektor informal.
Baca Juga:
PLN Dapat Dana Hibah dari AS untuk Studi Pengembangan Mini-Grid EBT Daerah 3T di Indonesia Timur
Yulinda juga menyoroti dampak negatif kohabitasi, terutama bagi perempuan dan anak.
Secara ekonomi, tidak ada jaminan finansial bagi ibu dan anak karena tidak ada hukum yang mengatur nafkah dari pihak ayah.
Saat pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada regulasi yang mengatur pembagian aset, hak asuh anak, atau hak waris.
Baca Juga:
Relawan Indonesia Timur Deklarasi Dukungan Kepada Prabowo di Pilpres 2024
Dari segi kesehatan, kohabitasi juga dapat menurunkan kepuasan hidup dan menimbulkan masalah kesehatan mental.
Kurangnya komitmen dan kepercayaan di antara pasangan sering kali menjadi penyebab utama.
Data PK21 juga menunjukkan bahwa 69,1 persen pasangan kohabitasi mengalami konflik ringan, 0,62 persen mengalami konflik serius seperti pisah ranjang atau tempat tinggal, dan 0,26 persen lainnya mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).