WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di Indonesia, orang yang telah menunaikan ibadah haji umumnya memperoleh gelar "Haji" bagi laki-laki dan "Hajah" bagi perempuan.
Bahkan, tak jarang masyarakat menggunakan gelar tersebut untuk menyapa seseorang yang belum menunaikan haji.
Baca Juga:
Biaya Haji 2025: Menag Usul Rp93,4 Juta, Ditanggung Jemaah Rp65,3 Juta
Namun, siapa sangka bahwa tradisi ini bukan berasal dari syariat Islam maupun aturan resmi Kerajaan Arab Saudi, melainkan warisan kebijakan kolonial Belanda.
Dua abad lalu, ibadah haji tidak hanya dipandang sebagai perjalanan spiritual, tetapi juga memiliki dimensi politik.
Pemerintah Hindia Belanda menganggap para jamaah haji asal Indonesia sebagai ancaman karena mereka sering membawa pemahaman baru sepulang dari Tanah Suci, yang dapat memicu perlawanan rakyat terhadap kolonialisme.
Baca Juga:
Saleh Daulay Kritik Kemenag: Biaya Haji Khusus Rp 1,1 Miliar, Ini Adil?
Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda (1986) menjelaskan bahwa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada awal 1810-an mulai mengawasi para jamaah haji.
Ia mewajibkan mereka mengurus paspor khusus sebagai bentuk kontrol. Kebijakan serupa juga diterapkan oleh Inggris saat menjajah Indonesia.
Dalam History of Java (1817), Thomas Stamford Raffles bahkan menyebut jamaah haji sebagai kelompok yang merasa paling suci dan berpotensi memicu pemberontakan.