WahanaNews.co, Jakarta - Sebuah insiden tragis terjadi pada penerbangan Singapore Airlines SQ321 dari London menuju Singapura.
Pesawat yang membawa 211 penumpang dan 18 awak tersebut mengalami turbulensi parah saat melintas di luar Teluk Benggala. Akibatnya, satu penumpang tewas dan sejumlah penumpang lain terluka.
Baca Juga:
Langit Berlubang Hebohkan Warga Jember, Ahli Klimatologi Ungkap Bahayanya
Penerbangan yang berangkat dari Bandara Heathrow, London pada Senin (20/5/2024) itu semula dijadwalkan mendarat di Bandara Changi, Singapura.
Namun, pilot terpaksa meminta pendaratan darurat di Thailand pada Selasa dini hari, 21 Mei 2024 setelah menghadapi turbulensi ekstrem. Data pelacakan menunjukkan pesawat turun hingga ketinggian 1.800 meter selama 3 menit saat kejadian.
Menurut Profesor Ilmu Atmosfer di University of Reading, Paul Williams, turbulensi dapat disebabkan oleh badai, gunung, atau arus udara kuat yang disebut jet stream.
Baca Juga:
Inilah 10 Rute Penerbangan dengan Turbulensi Terberat di Dunia
Dalam kasus ini, diduga turbulensi disebabkan oleh udara jernih yang sulit diprediksi karena tidak terdeteksi radar cuaca.
Williams menambahkan, "Analisis terperinci kondisi meteorologi dan jenis turbulensi yang menyebabkan kematian ini akan memakan waktu lama."
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa perubahan iklim menyebabkan langit 55% lebih bergelombang dibanding 4 dekade lalu.
Udara yang lebih hangat akibat emisi karbon dioksida mengubah pola arus jet, memperburuk turbulensi udara jernih di Atlantik Utara dan global.
Penelitian mencatat peningkatan durasi turbulensi parah sebesar 55% di Atlantik Utara antara 1979-2020, dengan kenaikan signifikan pada turbulensi ringan hingga sedang.
Selain Atlantik Utara yang mengalami peningkatan turbulensi terbesar, rute penerbangan sibuk lainnya di Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, dan Atlantik Selatan juga mengalami peningkatan turbulensi yang signifikan.
Paul William yang ikut menulis penelitian itu mengatakan, diperlukan investasi sistem prakiraan dan deteksi turbulensi yang lebih baik.
Hal ini untuk mencegah udara yang lebih kasar berubah menjadi penerbangan yang lebih bergelombang dalam beberapa dekade mendatang.
Maskapai penerbangan juga perlu berpikir tentang bagaimana mengatasi peningkatan turbulensi karena hal inu juga berpotensi menimbulkan kerugian.
“Setiap menit tambahan yang dihabiskan dalam perjalanan melalui turbulensi akan meningkatkan kerusakan pada pesawat, serta risiko cedera pada penumpang dan pramugari," kata Mark Prosser, ahli meteorologi yang memimpin penelitian itu.
Federal Aviation Administration mengkategorikan turbulensi berdasarkan tingkat keparahan. Turbulensi ringan ini yang paling sering terjadi pada pesawat komesial, berupa guncangan atau goyangan ringan.
Turbulensi sedang jarang terjadi, guncangannya lebih besar, hingga minuman tumpah. Turbulensi parah sangat jarang terjadi, jika terjadi dapat melukai penumpang atau awak pesawat yang tidak duduk di kursi.
Sedangkan turbulensi ekstrem hampir tidak pernah dialami, biasanya menyebabkan gerakan hebat di dalam kabin dan pesawat hilang kendali.
Turbulensi parah paling sering terjadi saat badai petir. Namun hal ini dapat dhindari dengan teknologi canggih prakiraan cuaca pesawat.
Saat terjadi turbulensi, pilot dapat berkomunikasi satu sama lain di udara. Jadi pilot dapat meneruskan pesan ke pesawat yang terbang di belakangnya.
Pesawat lain pun dapat mengubah jalurnya untuk mendapatkan udara yang lebih lancar. Jika turbulensi tidak dapat dihindari, kapten akan meminta penumpang dan pramugari memasang sabuk pengaman.
Saat ini, lembaga-lembaga penelitian seperti NASA, Pusat Penelitian Atmosfer Nasional (NCAR), dan Universitas Wisconsin sedang mengembangkan sistem deteksi canggih untuk memprediksi area turbulensi udara.
Program ini mengombinasikan data satelit, model cuaca komputer, dan kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi secara akurat daerah yang berpotensi terjadi turbulensi.
Sedangkan bagi penumpang yang merasa cemas ketika pesawat mengalami turbulensi, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk meredakan kekhawatiran:
1. Pilih tempat duduk strategis
Hindari duduk di bagian belakang pesawat karena turbulensi akan terasa lebih ekstrem di area tersebut, dengan guncangan dan benturan dari sisi ke sisi lebih terasa.
2. Dengarkan arahan pilot
Pilot biasanya akan memberikan informasi cuaca kepada penumpang sebelum lepas landas. Perhatikan setiap pengumuman dan peringatan dari awak pesawat terkait turbulensi, serta instruksi untuk tetap duduk dan memasang sabuk pengaman.
3. Lakukan teknik grounding
Teknik ini dapat meredakan kecemasan dengan membuat Anda fokus pada tubuh dan mengurangi pikiran-pikiran negatif. Cobalah melibatkan indera penglihatan, sentuhan, penciuman, dan pendengaran, seperti memfokuskan pandangan pada objek di depan, menyentuh sandaran tangan, serta bernapas dengan teratur.
4. Ajak mengobrol teman di sebelah jika dia tampak gugup
Mengobrol ringan dapat mengalihkan perhatian dari turbulensi. Perkenalkan diri, bicarakan rencana perjalanan, dan topik ringan lainnya dengan nada tenang.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]