WahanaNews.co | Menurut sebuah laporan, ada peningkatan kejahatan siber di Telegram.
Ini terjadi setelah pengguna melakukan migrasi dari WhatsApp karena perubahan kebijakan privasi.
Baca Juga:
Kasus Judol, Budi Arie Jadi Korban Pengkhianatan Pegawai Komdigi
Laporan itu berasal dari Financial Times dan kelompok intelijen siber Cyberint.
Disebutkan, terdapat “peningkatan 100% pada penggunaan Telegram untuk kejahatan siber”, dikutip laman Engadget, akhir pekan lalu.
FT menyebut, peningkatan itu datang setelah pengguna berbondong-bondong pindah karena perubahan kebijakan privasi WhatsApp.
Baca Juga:
6 Juta Data NPWP Diduga Bocor, Termasuk Milik Jokowi dan Gibran di Daftar Utama!
Saat itu, WhatsApp meminta pengguna untuk menerima kebijakan barunya, yang salah satunya menyebut akan berbagi data dengan Facebook.
Saat kebijakan privasi itu diumumkan, banyak pengguna WhatsApp yang marah.
Bahkan, platform itu harus mengklarifikasinya dan meyakinkan pengguna tidak akan membaca chat mereka.
Namun, orang-orang akhirnya melakukan migrasi besar-besaran ke platform saingan WhatsApp.
Mereka menuju ke layanan yang menawarkan kemampuan pengiriman pesan yang sama dan aman, salah satunya Telegram.
Para penyelidik menyebut, terdapat jaringan besar peretas yang berbagi dan juga menjual kebocoran data di kanal dengan puluhan ribu pelanggan.
Frekuensi “email;pass” dan “combo” disebut dalam aplikasi setahun terakhir dan meningkat empat kali lipat.
Sejumlah dump data yang beredar di aplikasi berisi 300 ribu hingga 600 ribu kombinasi email dan password untuk game dan layanan email.
Selain itu, penjahat siber juga menjual informasi soal keuangan, seperti nomor kartu kredit, salinan paspor, dan alat peretasan dari aplikasi.
"Layanan pesan terenkripsi makin populer di kalangan pelaku ancaman yang melakukan aktivitas penipuan dan menjual data curian. Karena lebih nyaman digunakan dari dark web," kata analis ancaman siber Cyberint, Tal Samra.
Samra mengatakan, selain lebih nyaman daripada dark web, Telegram juga disebut cenderung tidak diawali oleh pihak berwenang.
FT telah memberitahu perusahaan soal masalah ini.
Telegram juga menghapus saluran di mana ada penjualan kumpulan big data dengan email dan password.
Telegram juga menyebut perusahaan punya kebijakan menghapus data pribadi yang dibagikan tanpa persetujuan serta juga memiliki kekuatan moderator profesional yang bertambah. [dhn]