WAHANANEWS.CO, Samosir - Dana bantuan banjir yang seharusnya menjadi penopang pemulihan warga justru berbelok arah, setelah Kejaksaan Negeri Samosir menetapkan Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Samosir, Fitri Agus Karo-Karo, sebagai tersangka korupsi dana bantuan banjir senilai Rp1,5 miliar.
Penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik menemukan penyimpangan serius dalam penyaluran bantuan sosial dari Kementerian Sosial yang diperuntukkan bagi korban banjir bandang di Kenegerian Sihotang, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, yang terjadi pada November 2023.
Baca Juga:
20 Desa di Gayo Lues Hilang dari Peta Pascabanjir Bandang
Bantuan tersebut sedianya menyasar 303 kepala keluarga terdampak banjir bandang di Desa Sihotang, Kecamatan Harian, sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi pascabencana.
Dalam penyidikan terungkap bahwa tersangka secara sepihak mengubah skema bantuan tunai melalui cash transfer menjadi bantuan barang tanpa persetujuan Kementerian Sosial.
“Penetapan tersangka dilakukan Tim Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejari Samosir berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor TAP-02/L.2.33.4/Fd.1/12/2025 tertanggal Senin (22/12/2025),” ujar Kepala Kejaksaan Negeri Samosir, Satria Irawan.
Baca Juga:
Rumah Mendadak Jadi TKP, Sekeluarga Tewas Mengenaskan di Situbondo
Dari total anggaran Rp1.515.000.000, kerugian keuangan negara ditaksir mencapai Rp516.298.000 berdasarkan hasil perhitungan akuntan publik.
Perhitungan tersebut dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Gideon Adi & Rekan sebagaimana tertuang dalam Laporan Akuntan Publik Nomor 041/KAP-GAR/XII/2025.
Dalam pelaksanaan bantuan, tersangka juga menunjuk Badan Usaha Milik Desa Marsada Tahi sebagai penyedia barang bantuan tanpa mekanisme yang sah.
“Tersangka menyarankan dan menunjuk BUMDes sebagai penyedia barang serta meminta penyisihan sebesar 15 persen dari nilai bantuan untuk kepentingan pribadi dan pihak lain,” kata Kasi Intel Kejari Samosir, Richard NP Simaremare.
Selain mengubah mekanisme bantuan, pemotongan dana tersebut dilakukan dengan memanfaatkan kewenangan tersangka sebagai Kepala Dinas Sosial PMD Kabupaten Samosir.
Sebelum dilakukan penahanan, tersangka menjalani pemeriksaan kesehatan dan dinyatakan sehat oleh dokter.
“Selanjutnya, berdasarkan Surat Perintah Penahanan Kepala Kejaksaan Negeri Samosir, tersangka ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Pangururan selama 20 hari ke depan,” ujar Satria Irawan.
Atas perbuatannya, tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tersangka juga disangkakan secara subsider melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 undang-undang yang sama.
Karena bantuan sosial Program PENA berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak, khususnya pemulihan ekonomi korban bencana, kejaksaan memastikan tuntutan akan disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Penanganan perkara ini dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel serta akan terus dikembangkan untuk mengungkap pihak-pihak lain yang bertanggung jawab,” kata Satria Irawan.
Pelapor perkara, Marko Panda Sihotang, menilai penetapan tersangka tersebut sejalan dengan laporan masyarakat Kenegerian Sihotang yang sejak awal telah dilengkapi alat bukti.
“Sejak awal kami lapor kami berkeyakinan dana Bansos PENA itu dikorup,” katanya.
Menurut Marko, penetapan tersangka ini menjadi peringatan keras bagi Pemerintah Kabupaten Samosir agar lebih cermat menempatkan pejabat publik.
Selain melapor ke Kejari Samosir, masyarakat juga telah menyurati Presiden Prabowo Subianto terkait dugaan korupsi dana Program PENA karena bersumber dari anggaran bantuan sosial nasional.
“Temuan kami tidak jauh berbeda dengan hasil penyidikan kejaksaan, bantuan tunai yang seharusnya ditransfer langsung ke rekening penerima diubah menjadi bantuan barang,” ujarnya.
Nilai bantuan yang diterima warga disebut berkisar antara Rp3.800.000 hingga Rp4.200.000 per kepala keluarga, jauh di bawah pagu bantuan sebesar Rp5.000.000 per keluarga.
“Tersangka terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara hingga seumur hidup karena korupsi dana bencana,” ucap Marko.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]