WAHANANEWS.CO, Jakarta - Publik dikejutkan oleh tragedi memilukan di Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ketika seorang ibu berinisial EN (34) ditemukan bunuh diri usai diduga meracuni kedua anaknya yang berusia 9 tahun dan 11 bulan pada Selasa (9/9/2025).
Polisi menemukan surat wasiat yang ditinggalkan EN berisi curahan penderitaan serta kekecewaan terhadap suaminya yang diduga dipicu tekanan ekonomi dan tumpukan utang keluarga.
Baca Juga:
Polisi Benarkan Ibu Gantung Diri dan Dua Anak Tewas Diduga Diracun di Bandung
Dari perspektif psikologi forensik, kasus ini masuk dalam kategori maternal filicide-suicide, yaitu tindakan seorang ibu mengakhiri hidup anaknya lalu mengakhiri hidupnya sendiri.
Psikolog Klinis Forensik lulusan Universitas Indonesia, A Kasandra Putranto, menegaskan bahwa fenomena bunuh diri dan filisida di Indonesia tidak bisa dilihat semata sebagai tindak kriminal.
“Dari perspektif psikologi forensik, evaluasi penyebab kematian melalui autopsi psikologi menjadi penting. Kasus semacam ini tidak boleh hanya dipandang dari sisi hukum, melainkan juga sebagai kegagalan sistemik dalam penanganan kesehatan mental,” ujar Kasandra, melansir Metrotvnews, Selasa (9/9/2025).
Baca Juga:
Musisi Legendaris Acil Bimbo Meninggal Dunia di Usia 82 Tahun
Menurut Kasandra, maternal filicide-suicide harus menjadi alarm serius bagi negara dan masyarakat untuk memperkuat intervensi preventif, memperluas akses layanan psikologi, serta membangun dukungan sosial yang kokoh bagi keluarga rentan.
Ia menyebut, ada sejumlah faktor yang memengaruhi kasus tragis seperti ini di Indonesia. Pertama, faktor psikologis berupa depresi, stres berkepanjangan, atau gangguan mental lain yang tidak terdiagnosis. Kondisi tersebut melemahkan kemampuan berpikir rasional dan menimbulkan distorsi kognitif atau pikiran salah yang terasa benar bagi pelaku (Beck, 1976).
Kedua, faktor sosial dan ekonomi. Tekanan akibat masalah utang dan kondisi finansial keluarga kerap menjadi pemicu signifikan, bukan hanya karena aspek materi, tetapi juga menimbulkan rasa malu, tekanan sosial, serta perasaan gagal menjalankan peran sebagai ibu dan istri.
“Dalam kerangka Interpersonal Theory of Suicide (Joiner, 2005), kondisi tersebut menciptakan dua faktor psikologis berbahaya yakni perceived burdensomeness (merasa menjadi beban) dan thwarted belongingness (merasa terisolasi). Kombinasi keduanya berpotensi besar meningkatkan risiko bunuh diri,” jelas Kasandra.
Faktor ketiga adalah minimnya dukungan kesehatan mental. Akses layanan psikologi di Indonesia masih sangat terbatas.
Data Profil Kesehatan Indonesia 2023 mencatat hanya ada sekitar 450 psikolog klinis untuk melayani lebih dari 270 juta jiwa.
Selain jumlah yang minim, stigma sosial membuat banyak ibu enggan mencari pertolongan. WHO (2014) mencatat stigma sebagai hambatan terbesar bagi penderita gangguan mental karena rasa takut dianggap lemah atau bahkan “gila”.
Kasandra menekankan pentingnya autopsi psikologi atau psychological autopsy dalam kasus seperti ini. Metode tersebut melibatkan wawancara dengan keluarga atau saksi, analisis catatan medis, hingga rekonstruksi kondisi psikososial pelaku sebelum kejadian.
Evaluasi semacam itu, kata dia, mutlak diperlukan agar kasus filisida-suicide tidak hanya dilihat dari sisi kriminal, melainkan juga sebagai refleksi dari kegagalan sistem kesehatan mental memberikan dukungan memadai bagi masyarakat.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]