WahanaNews.co | Komisi D DPRD DKI Jakarta menilai, pembangunan sumur resapan tidak signifikan untuk mengurangi banjir di Jakarta.
Selain itu, banyak penempatan sumur resapan yang tidak tepat.
Baca Juga:
Soal Sumur Resapan, Heru: Jangan Lihat Siapa yang Buat, Tapi untuk Siapa
Komisi D kemudian memilih mengurangi anggaran pembuatan sumur resapan dalam RAPBD 2022, dari Rp 361 miliar menjadi Rp 120 miliar.
Ketua Komisi D bidang Pembangunan DPRD DKI Jakarta, Ida Mahmudah, Minggu (21/11/2021), mengatakan, dalam rapat pembahasan di Komisi D pekan lalu, sejumlah anggota Komisi D menilai sumur resapan tidak signifikan mengurangi banjir.
Bahkan, titik-titik penempatan sumur resapan banyak yang tidak tepat, sehingga anggaran untuk sumur resapan akan dihapus.
Baca Juga:
Menteng Bukan Daerah Banjir, Tapi Kok Ada Sumur Resapan?
Pantas Nainggolan, anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, secara terpisah mengkritisi penempatan sumur-sumur resapan yang kurang tepat seperti di atas trotoar dan di badan jalan.
Ia melihat, sumur-sumur resapan yang dibangun rata-rata berupa sumur dangkal.
Sumur dangkal tidak akan meresapkan air ke dalam tanah, karena rata-rata tanah di Jakarta adalah tanah lempung.
Selain itu, pembangunan sumur resapan di Jakarta ini ia lihat juga hanya mengejar angka, tidak terencana, tidak terintegrasi dengan rencana kegiatan lainnya, juga pemborosan.
”Trotoar kita sudah bagus karena ada program perbaikan, tiba-tiba berlubang dan rusak karena dibongkar untuk pembangunan sumur resapan. Artinya apa? Tidak ada perencanaan yang komprehensif. Kebijakan-kebijakan itu muncul begitu saja, tidak terintegrasi dengan yang lainnya. Itu pemborosan,” ujar Nainggolan, tegas.
Seperti terlihat di daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan, juga di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan, pembangunan sumur resapan justru dilakukan di atas trotoar dan badan jalan, bahkan kolong jalan tol.
Pembangunan di atas trotoar mengganggu pejalan kaki, sedangkan pembangunan di badan jalan mengganggu kelancaran lalu lintas.
Justin Adrian, anggota Komisi D dari Fraksi PSI, dalam pemandangan umum fraksi pada rapat paripurna pekan lalu juga mempertanyakan manfaat pembangunan sumur resapan, apalagi anggaran pembangunan besar.
Bila dalam APBD 2021 dianggarkan Rp 411,43 miliar, di dalam RAPBD 2022 dianggarkan sebesar Rp 361 miliar.
”Kami melihat bahwa dengan anggaran ratusan miliar rupiah tersebut, pembangunan sumur resapan ini masih kurang efektif dalam mengatasi banjir daripada upaya pengendalian banjir lainnya seperti normalisasi sungai,” kata Justin.
Seperti diketahui, lanjut Justin, banjir di beberapa lokasi di Jakarta disebabkan ketidakmampuan sungai dan saluran air dalam menampung debit air yang tinggi.
Adapun sumur resapan, menurut para pakar, hanya efektif untuk mengatasi genangan air, bukan banjir.
Dari data yang ada, menurut Justin, pencapaian target pembangunan sumur resapan itu rendah.
Sampai September 2021, baru 22.000 sumur resapan yang masuk dalam kontrak realisasi dari target 40.000 titik.
Dari 22.000 titik itu, sampai dengan Oktober 2021 hanya terbangun 6.230 titik.
”PSI minta Pemprov DKI mengevaluasi pelaksanaan sumur resapan untuk mengetahui seberapa efektif program ini dalam mengatasi banjir di Jakarta,” katanya.
Dari akun media sosial Pemprov DKI Jakarta, Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Dudi Gardesi, menjelaskan, pada 2021 ini, Dinas SDA menargetkan bisa membangun 25.657 titik drainase vertikal.
Titik sebanyak itu untuk menyerap 68.038 meter kubik air.
Per 27 Oktober 2021, yang sudah terbangun 12.481 titik.
Terpisah, Nirwono Joga, peneliti pada Pusat Studi Perkotaan, menjelaskan, dalam rapat dengan pansus banjir DPRD DKI Jakarta pada Oktober 2020 dan Februari 2021, ia sudah menyarankan untuk mencoret anggaran pembangunan sumur resapan.
Menurut dia, Pemprov DKI tidak memiliki rencana matang terkait pembangunan sumur resapan dan penempatan titik-titik sumur banyak yang tidak tepat seperti di trotoar, dekat Banjir Kanal Timur atau sekitar kali/kanal.
Ini karena Pemprov DKI tidak memiliki rencana induk pembangunan sumur induk.
”Drainase vertikal atau sumur resapan (beda istilah saja) hanya berfungsi membantu mengurangi genangan air skala mikro (halaman rumah/sekolah/parkir, jalan lingkungan sekitar, taman), bukan meredam banjir skala kawasan/kota,” kata Nirwono.
Untuk daerah Jakarta, sumur resapan hanya sesuai dibangun di wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur bagian selatan.
Sementara yang ke arah utara, seperti Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur bagian utara dan Jakarta Utara, praktis tidak bisa karena kedalaman air tanah yang dangkal sehingga tidak berguna dibangun sumur resapan.
”Kalaupun bisa dibangun, itu pun di lokasi-lokasi yang bukan cekungan, tidak dekat kali/sungai/kanal,” katanya.
Ia juga menyarankan, sebaiknya pembangunan sumur resapan diserahkan kepada setiap warga untuk membangun sendiri di halaman rumahnya, jangan menggunakan dana APBD maupun dana PEN pusat.
”Itu akan pemborosan anggaran, tidak efektif/mubazir, lebih baik dana tersebut digunakan untuk mengatasi banjir seperti menata bantaran kali (mengatasi banjir kiriman); merevitalisasi situ/danau/embung/waduk; merehabilitasi saluran kota; menambah RTH baru (mengatasi banjir lokal); dan merestorasi kawasan pesisir pantura Jakarta dalam mengatasi banjir rob,” imbuh Nirwono.
Ida melanjutkan, dengan adanya argumen tersebut, dalam pembahasan di Komisi D terungkap penjelasan masih ada warga yang meminta dibuatkan.
”Jadi, karena pertimbangan itu, anggota Komisi D meminta anggaran tetap diadakan, tidak dihapus semua, sehingga dari usulan Rp 361 miliar disisakan Rp 120 miliar. Kami minta titik yang dibangun itu betul-betul dibutuhkan,” kata Ida. [qnt]