WahanaNews.co | Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) bersama IDI wilayah Lampung dan IDI Cabang Lampung Barat, Lampung, terus mendampingi dokter internship (magang) yang mengalami kekerasan hingga proses perlindungan hukum.
Dokter jaga Puskesmas tersebut, diketahui bernama Carel Triwiyono (29), warga Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Sementara dua pelaku penganiayaan berinisial AW (32) dan MH (41), keduanya merupakan warga Bandar Lampung.
Baca Juga:
OJK Lampung Catat Penyaluran Kredit UMKM Kuartal III-2024 Meningkat 14,42%
Kejadian tersebut terjadi pada Sabtu (22/4/2023) sekitar pukul 05.20 WIB, di Puskesmas Fajar Bulan, Desa Mutar Alam, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, pada Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah beberapa hari lalu.
Dilaporkan, terjadi penyerangan terhadap dua dokter internship yang bertugas jaga di Puskesmas tersebut oleh seorang pasien dan keluarganya.
Namun, korban baru melapor ke Polres Lampung Barat, Lampung, pada sore atau malam hari, karena masih dalam kondisi syok dan ada yang melaporkan juga mereka sempat diancam dengan keras.
Baca Juga:
Besok! Debat Pamungkas Pilgub Lampung Siap Digelar, Ini Temanya
“Saya menerima laporan kejadian tersebut dari salah satu dokter tersebut di Fajar Bulan pada hari Minggu tanggal 23 sekitar pukul 09.00 WIB, kemudian saya berinisiatif segera menarik korban dari posisi di Fajar Bulan ke Liwa (sekitar 1 jam), agar bisa menjamin keselamatan mereka di tempat yang lebih terpantau keamanan dan fasilitasnya,” kata dr Iman Hendarman, Ketua IDI Cabang Lampung Barat, Lampung, Rabu (26/4/2023).
Kemudian, lanjut dr Iman, pihaknya segera berkoordinasi dengan Sat Reskrim Polres Lampung Barat untuk dapat mempercepat proses pemenuhan pemeriksaan (barang bukti video, visum, dan lain-lain).
“Sehingga, proses hukum dapat dilaksanankan,” sebutnya.
Sementara, Ketua IDI Wilayah Lampung, dr Josi Harnos menegaskan, bahwa kekerasan terhadap tenaga kesehatan tidak boleh dibiarkan.
“Hal ini dapat mengganggu proses distribusi para dokter dan tenaga kesehatan di wilayah terpencil, karena merasa tidak terjamin keamanannya dan perlindungan hukumnya apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata dr Josi.
“Selama ini, IDI terus berkoordinasi dengan pemerintah setempat, seperti Dinas Kesehatan Lampung Barat untuk membahas faktor-faktor risiko yang terkait dengan kekerasan terhadap dokter dan kemungkinan langkah-langkah pada tingkat pribadi, kelembagaan, atau kebijakan yang diperlukan untuk mengurangi insiden tersebut,” sambungnya.
Diketahui, kekerasan pada dokter dan tenaga kesehatan dapat terdiri dari ancaman telepon, intimidasi, caci maki, serangan fisik tetapi tidak melukai, serangan fisik yang menyebabkan luka sederhana atau berat, pembunuhan, vandalisme, dan pembakaran.
Profesional medis yang menghadapi kekerasan diketahui dapat mengalami masalah psikologis, seperti depresi, insomnia, stres pasca trauma, ketakutan, dan kecemasan, yang menyebabkan keengganan untuk bertugas di wilayah terpencil.
Proses distribusi para dokter internship dan dokter spesialis selama ini dilakukan oleh Kementerian Kesehatan-RI secara langsung.
IDI berharap ketika Kemenkes-RI memberikan penugasan pada para dokter dan tenaga kesehatan di wilayah terpencil, maka pemerintah juga sebaiknya memberikan jaminan perlindungan, terutama hukum pada tenaga kesehatan yang ditugaskan.
Dikatakan oleh Ketua Umum PB IDI, DR. Dr. Moh. Adib Khumaidi selama ini jaminan perlindungan dokter dalam bertugas sudah dilakukan dengan baik oleh organisasi profesi kesehatan, termasuk IDI yang selama ini sudah menjalin hubungan dan selalu berkoordinasi dengan aparat dan pemerintah daerah setempat. [sdy]