WAHANANEWS.CO, Padang – Sejumlah orang yang intoleransi melakukan perusakan rumah doa umat Kristen terjadi di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatra Barat, Minggu (27/07/2025).
Dua anak juga mengalami luka-luka akibat dipukul kerumunan massa yang berupaya mengusir mereka. Kepolisian setempat menyatakan telah menahan sembilan orang terduga pelaku perusakan di rumah doa tersebut.
Baca Juga:
Bedah Buku "Imajinasi Islam: 70 Tahun Komaruddin Hidayat"
Pendeta GKSI Anugerah Padang, F Dachi, mengatakan kejadian berlangsung tiba-tiba.
Menurutnya, beberapa warga berdatangan membawa kayu, melempar batu, membawa pisau, dan bersorak "bubarkan" ke arah rumah doa itu.
Rumah doa tersebut didirikan untuk tujuan pendidikan agama terhadap anak-anak Kristen yang menimba ilmu di sekolah negeri karena mereka tidak mendapatkan pendidikan agama Kristen di lingkungan sekolah.
Baca Juga:
Ini 3 Dosa Besar di Lingkungan Pendidikan Indonesia, Apa Upaya Kemendikbudristek?
Dia memaparkan, beberapa orang memukul jendela kaca menggunakan kayu, melempar kursi, serta merusak barang-barang yang ada di dalam rumah doa tersebut.
Puluhan anak-anak yang sedang belajar agama Kristen di dalam rumah doa itu, menurutnya, histeris dan berlarian keluar. Sebanyak dua anak berusia 11 tahun dan sembilan tahun menjadi korban pemukulan.
"Yang satu kakinya cedera dan tidak bisa jalan karena dipukul dengan kayu. Satu lagi bagian bahunya juga dipukul dengan kayu. Keduanya sudah dibawa ke rumah sakit," kata Dachi.
Bagaimana kronologinya?
Melansir dari BBC News Indonesia, Pendeta GKSI Anugerah Padang, F Dachi, menyatakan kejadian tersebut berlangsung sekitar pukul 16.00 WIB. Saat itu ia sedang duduk bersama beberapa orang di teras rumah doa tersebut.
"Saat itu datang bapak RT dan pak Lurah. Mereka memanggil saya dan membawa saya ke belakang," katanya.
"Salah satu diantara mereka menyatakan untuk bubarkan dan hentikan kegiatan. Lalu terjadilah insiden itu," ujarnya.
Salah seorang warga Kristen lainnya, Baja Baruhu (57), mengaku sedang duduk di teras rumah doa. Baru beberapa menit duduk, menurutnya, ada beberapa pria yang datang.
"Mereka bersorak menyuruh pulang dan saya terkejut mendengar itu," tuturnya.
Sesaat kemudian, papar Baja, para pria melempar batu batu, memukul jendela kaca menggunakan kayu, serta menghancurkan kursi plastik yang ada di rumah doa tersebut.
Baja mengaku langsung lari keluar dan hanya melihat para pria tersebut mengamuk di rumah doa itu.
Bagaimana respons polisi?
Kepolisian Daerah Sumatera Barat menyatakan telah menahan sembilan orang terduga pelaku perusakan di rumah doa tersebut.
"Sampai saat ini kami sudah mengamankan sembilan orang yang diduga melakukan pengrusakan itu," kata Wakapolda Sumbar, Brigjen Pol Solihin.
"Untuk kronologi dan identitas sembilan orang yang diamankan ini nanti akan kami rilis lagi," lanjutnya.
Solihin mengatakan bahwa sembilan orang tersebut diamankan sesuai dengan video viral yang beredar di media sosial terkait perusakan rumah doa.
"Ini masih kami kembangkan lagi. Untuk yang sudah kami amankan ini ada juga yang masih menggunakan pakaian saat melakukan perusakan tersebut," katanya.
Solihin mengungkapkan bahwa sampai saat ini pihaknya belum mendapatkan laporan terkait adanya dua anak yang menjadi korban dalam kejadian tersebut.
"Sementara belum ada, hanya kaca-kaca yang pecah dan kursi yang rusak saja di lokasi tersebut," katanya.
Bagaimana respons pemerintah daerah?
Wali Kota Padang, Fadli Amran, mengungkapkan permintaan maafnya atas insiden tersebut. Dia berkeras menyatakan bahwa kejadian itu disebabkan miskomunikasi.
"Tadi saya sudah mendengarkan dari kedua belah pihak dan mereka sudah menyampaikan kronologi kenapa ini bisa terjadi. Kesimpulannya ini karena adanya miskomunikasi," katanya.
Menurutnya, miskomunikasi yang dimaksud adalah adanya keramaian di rumah doa tersebut. Kemudian pihak RW juga tidak mendapatkan informasi menyeluruh sehingga terjadi insiden tersebut.
"Insiden ini tentunya kami sesali. Tentunya kita juga mengetahui luka perasaan saudara-saudara kita masyarakat Nias yang sudah hidup damai dengan masyarakat sekitar dari dahulunya," ungkapnya.
Fadli mengatakan bahwa insiden tersebut akan menjadi catatan bagi Pemko Padang ke depannya.
"Untuk pendidikan, kita dari pemerintah harus menjadi garda terdepan untuk memberikan ruang seluas-luasnya dan tadi sudah disampaikan oleh bapak pendeta bahwa tidak ada masalah dalam pendidikan anak-anak. Namun hari ini realitanya ada insiden yang melukai perasaan masyarakat saudara-saudara kita," katanya.
"Konsisten kami jelas bahwa kita hidup beragam di Kota Padang. Kita hidup damai dan mengedepankan kerukunan umat beragama tentunya," katanya.
Sementara, untuk proses hukum yang mungkin akan ditempuh oleh masyarakat Kristen yang menjadi korban, pihaknya tidak akan melakukan intervensi.
"Kami menyerahkan semua proses hukumnya kepada pihak yang berwenang. Kami datang malam ini hanya untuk melihat bagaimana situasi dan kondisi kehidupan beragama di sana," katanya.
'Kami trauma'
Serangan di rumah doa menyisakan trauma mendalam bagi puluhan umat Kristen di Kota Padang.
Baja mengaku takut akan terjadi hal yang sama atau bahkan yang lebih parah dibanding yang ia alami tersebut.
"Saya takut nanti ini akan terulang lagi atau mungkin semakin parah seperti pembunuhan. Saya maunya aman lah lagi nantinya," katanya.
Trauma juga dialami oleh sang pendeta, F Dachi. Dia mengaku sangat terpukul ketika melihat anak-anak bimbingannya menjadi korban dalam kejadian itu.
"Trauma terberat bagi saya karena mereka melarang untuk tidak melakukan pendidikan agama. Sementara Undang-undang sudah menjamin untuk kebebasan beragama," katanya.
Trauma yang lebih mendalam, menurut Dachi, akan dirasakan oleh anak-anak yang berjumlah sekitar 30 orang saat kejadian tersebut.
"Mereka pasti sangat trauma dengan kejadian itu dan saya khawatir nanti mereka tidak mau lagi untuk belajar pendidikan agama seperti biasanya," katanya.
Dachi mengaku, dirinya juga mendapatkan ancaman dari warga untuk tidak melakukan kegiatan ibadah.
Menanggapi trauma tersebut, Wali Kota Padang, Fadli Amran, mengatakan bahwa ia akan meminta Dinas Sosial untuk memberikan trauma healing kepada para anak-anak dan juga seluruh warga Kristen di lokasi itu.
"Nanti saya akan perintahkan Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan untuk memberikan bantuan agar mereka bisa melupakan trauma itu kedepannya," katanya.
Bukan kejadian pertama di Kota Padang
Penasihat Hukum masyarakat Nias, Yutiasa Fakho, mengungkapkan bahwa intimidasi dan pelarangan untuk beribadah bukan kali pertama terjadi di Kota Padang.
Dua tahun lalu, tepatnya pada 29 Agustus 2023, kejadian serupa terjadi di sebuah rumah ibadah yang terletak di daerah Lubuk Begalung, Padang, Sumatera Barat.
Jemaat Kristen di lokasi tersebut mendapatkan intimidasi dan ancaman dari puluhan warga kala itu.
Perusakan juga dilakukan dengan melempari kaca menggunakan batu hingga adanya pengancaman.
"Kita sangat menyesali betul hal yang terjadi. Kita di Indonesia ini sudah dijamin untuk umat beragama. Tetapi, oknum-oknum ini masih ada yang memanfaatkan situasi. Karena ini bisa mencederai keberagaman kita dan kebhinekaan kita," kata Yutiasa Fakho.
Menurutnya, dalam perkara di daerah Lubuk Begalung tersebut para pelaku sudah divonis bersalah dan diberikan hukuman penjara selama tujuh bulan.
"Makanya, kami tetap ingin melanjutkan [kejadian di rumah doa] ini ke ranah hukum. Soal memaafkan, kami sudah memaafkan apa yang terjadi. Tapi soal perkara hukum akan tetap berjalan," ungkapnya.
Yutiasa mengatakan, ia akan melaporkan perusakan, penganiayaan, serta pengancaman tersebut kepada Polda Sumatera Barat pada Senin (28/07) pagi.
"Kami akan ke Mapolda Sumbar untuk melaporkan hal ini. Saat ini kami masih mengumpulkan lagi bukti-bukti soal kejadian tadi," ungkapnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]