WahanaNews.co | Komnas HAM sudah menerima laporan
Aliansi Rakyat Untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) terhadap Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Laporan
itu dilayangkan terkait Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang
Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka yang dinilai
tidak demokratis dan berpotensi melanggar HAM.
Baca Juga:
Pemda DIY Targetkan Pembuatan DED Rampung pada 2023
"Surat
infonya sudah kami terima. Akan ditindaklanjuti bagian Pemantauan dan
Penyelidikan," kata Komisioner Komnas HAM, Hairansyah, kepada wartawan, Rabu (17/2/2021).
Hairansyah
mengatakan, langkah tindak lanjut yang dimaksud dapat berupa permintaan
klarifikasi melalui surat atau pemanggilan para pihak untuk dimintai
keterangan.
Komnas HAM
bakal menentukan langkah tindak lanjut setelah dokumen pengaduan selesai
dipelajari.
Baca Juga:
Sultan HB X Jamin Karyawan Hotel Ibis dan Mal Malioboro Tak Kena PHK
"Sedang
berproses langkah yang akan diambil, setelah seluruh dokumen pengaduan
dipelajari bagian Pemantauan dan Penyelidikan," ungkapnya.
Adapun
surat pengaduan dikirim oleh ARDY yang terdiri dari 78 lembaga non-pemerintah
dan individu pro-demokrasi kepada Komnas HAM melalui Kantor Pos Besar
Yogyakarta, Selasa (16/2/2021).
Menurut
Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli, Pergub tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
"Selain
itu juga bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005, dan
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum," kata Yogi, dalam keterangan tertulis, Selasa.
Dalam
Pergub tersebut ada larangan demonstrasi di lima lokasi, yakni Istana Negara Gedung Agung,
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kraton Pakualaman, Kotagede, dan Malioboro.
Unjuk
rasa diperbolehkan asalkan dengan radius 500 meter dari lokasi tersebut.
Padahal,
Yogi mengungkapkan, kawasan yang dilarang tersebut selama ini menjadi tempat
masyarakat sipil untuk menyuarakan pendapat dan kritik.
ARDY
juga menyoroti pembatasan waktu unjuk rasa serta aturan penggunaan pengeras
suara yang ada dalam pergub tersebut.
Hal
lain yang disoroti adalah pelibatan TNI.
Menurut
Yogi, setelah dwifungsi ABRI dihapuskan, prajurit hanya bertugas dalam hal
pertahanan serta tidak lagi terlibat urusan politik.
"Poin
keempat, soal pelibatan TNI dalam urusan sipil. Dalam pergub itu, TNI dapat
ikut serta dalam wilayah koordinasi sebelum, saat, dan setelah pelaksanaan
penyampaian pendapat di muka umum. Selain itu mereka juga ikut mengevaluasi
kebijakan dan pelaksanaan kebijakan," kata dia. [dhn]