WahanaNews.co | Kelakuan pria yang menendang dan membuang sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru jadi buah bibir masyarakat. Pakar sosial dan budaya pun turut buka suara soal aksi ini.
Pakar Sosial dan Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UIN-SA), Prof Dr Nur Syam MSi menyebut, ada tiga aspek dalam sekelompok masyarakat.
Baca Juga:
Dampak Erupsi Gunung Lewotobi, Bandara Bali Batalkan 90 Penerbangan Dalam Sehari
Perbuatan pria tersebut ada di aspek pertama. Yakni sekelompok masyarakat yang tidak menyukai tradisi dan menganggapnya musyrik.
"Kalau saya melihatnya dari aspek, pertama bahwa ada sekolompok masyarakat yang memang sangat tidak menyukai terhadap tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat. Terutama tradisi yang dianggap mengandung aspek musyrik, penyekutuan," kata Prof Nur Syam saat dihubungi, Senin (10/1/2022).
"Ini kategori pertama yang memiliki pemahaman yang sangat berbeda dengan yang lain. Perilaku masyarakat yang dianggap menyekutukan Tuhan, itu dianggap tindakan musyrik yang harus dinihilkan," tambahnya.
Baca Juga:
Bupati Sleman Terima "Uba Rampe" dari Utusan Raja Keraton
Aspek kedua, lanjut Nur, yaitu kelompok moderat. Artinya, mereka yang memiliki pandangan secara umum, bahwa orang tersebut menyatakan keyakinan perilaku semacam itu tidak dibenarkan dalam agama Islam. Namun, mereka tidak bereaksi berlebihan.
"Seperti melakukan sesajen dan sebagainya, diyakini sebagai sesuatu yang salah. Tetapi tidak melakukan reaksi yang berlebihan ketika melakukan hal ini 'membiarkan' melakukan (Sesajen, red) secara pelan-pelan, kemudian dilakukan upaya untuk membenarkan," ujarnya.
Lalu aspek ketiga yakni kelompok yang benar-benar menganggap itu wajar atau yang tidak memiliki implikasi apa pun bagi orang lain.
"Ini kelompok yang membiarkan dan tidak perlu dipermasalahkan, tidak perlu, dibenahi, tidak perlu dikembalikan jalan yang benar," ungkapnya.
Prof Nur Syam menilai, apa yang dilakukan pria yang menendang sesajen di lereng Semeru itu ada pada aspek pertama.
"Menganggap segala bentuk kemusyrikan harus dienyahkan. Ini saya rasa sedang terjadi. Di Indonesia sedang ada upaya-upaya semacam ini. Ada upaya untuk harus menihilkan terhadap semua hal yang berbeda dengan keyakinannya," urainya.
Sedangkan pihaknya lebih memilih aspek masyarakat yang moderat. Moderat itu memberikan peluang bagi mereka-mereka yang bukan sesuai dengan keyakinannya. Secara pelan-pelan, tentu saja ada upaya untuk melakukan perubahan-perubahan.
"Biasanya dilakukan perubahan secara internal. Karena perubahan dilakukan dari luar, tentu tidak akan sampai dan justru akan menimbulkan disharmoni," ujarnya.
Dia menjelaskan tradisi lokal di Indonesia masih banyak. Misalnya di Jawa ada Tradisi Nyebrang yang dilakukan di sumur, hingga Tradisi Manganan di kuburan.
Menurutnya, aspek moderat biasanya mengubah tradisi ini secara pelan-pelan. Namun tidak dihilangkan sama sekali wadahnya. Tetapi isinya, substansinya ditambahkan dengan nilai-nilai keislaman.
"Ini yang sekarang banyak terjadi. Selama ini tradisi lokal menjadi tradisi Islam lokal. Menurut saya yang Islam moderat pasti tidak akan melakukan tindakan merusak keyakinan semacam ini, tidak juga membatalkan, dimusyrikkan, pasti tidak," jelas Nur.
"Karena yang melakukan tindakan semacam ini adalah mereka-mereka paham keagamaannya semacam itu. Segala sesuatu yang tidak sesuai dianggap salah, karena salah maka harus dihilangkan," pungkasnya. [rin]