WahanaNews.co, Jakarta - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang saat ini dipimpin oleh Pejabat (Pj) Gubernur Heru Budi Hartono telah mengeluarkan kebijakan yang cukup kontroversial.
Kebijakan itu yakni penonaktifan Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi warga yang tidak mematuhi ketentuan tertentu.
Baca Juga:
Gubernur Diminta Evaluasi Ulang Proses Tender Perawatan Gedung Dinas Teknis Jati Baru
Menurut Pengamat Kebijaan Publik, Sugianto Emik, kebijakan ini bagaikan pepatah "buruk rupa cermin dibelah."
“Artinya menggambarkan seseorang atau pihak yang tidak mau mengakui kesalahan sendiri dan justru menyalahkan pihak lain atau mencari solusi yang tidak tepat,” kata Sugianto Emik dalam keteranganya, Selasa (26/6/2024).
Dibeberkaan Sugianto, dalam konteks ini, kebijakan penonaktifan NIK seolah-olah merupakan upaya untuk menutupi atau mengatasi masalah administrasi dan kependudukan yang sebenarnya lebih kompleks. Alih-alih mencari solusi yang mendalam dan sistemik, pemerintah memilih langkah yang justru memperkeruh keadaan dan merugikan warga.
Baca Juga:
Pj. Gubernur Adhy: Selamat Menjalankan Tugas, Utamakan Kepentingan Rakyat
Masalah administrasi kependudukan di Jakarta sejak lama tidak bisa dipandang sebelah mata. Kepadatan penduduk, urbanisasi yang tinggi, dan mobilitas warga yang sangat dinamis membuat pengelolaan data kependudukan menjadi amburadul.
Misalnya, dalam setiap pembagian bansos, persoalan akurasi data warga Jakarta yang berhak menerima selalu bermasalah atau tidak tepat sasaran.
Namun penonaktifan NIK bukanlah jawaban atas semua masalah ini. Sebaliknya, kebijakan ini berpotensi menambah masalah baru.