Menurut analisis Sugianto, setidaknya berpotensi muncul 3 (tiga) masalah atas kebijakan ini.
Pertama, kehilangan hak dasar warga, karena NIK adalah kunci bagi banyak layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial lainnya. Penonaktifan NIK sama saja dengan mencabut hak-hak dasar warga negara.
Baca Juga:
Gubernur Diminta Evaluasi Ulang Proses Tender Perawatan Gedung Dinas Teknis Jati Baru
Kedua, administrasi yang semakin rumit, sebab kebijakan ini bisa menambah beban administrasi baik bagi pemerintah maupun bagi warga yang terkena dampaknya. Proses pengaktifan kembali NIK tentu tidak sederhana dan memerlukan waktu.
Ketiga, dampak sosial dan ekonomi, lantaran tanpa NIK yang aktif, warga bisa kehilangan pekerjaan, sulit mendapatkan akses perbankan, serta berbagai masalah sosial-ekonomi lainnya.
“Pepatah "buruk rupa cermin dibelah" mengingatkan kita bahwa menyalahkan pihak lain atau mencari solusi instan tidak akan menyelesaikan masalah,” terang Emik.
Baca Juga:
Pj. Gubernur Adhy: Selamat Menjalankan Tugas, Utamakan Kepentingan Rakyat
Yang perlu dilakukan adalah Pemprov DKI Jakarta harus introspeksi dan mencari akar masalah untuk menemukan solusi yang tepat. Dalam hal ini, ada beberapa langkah yang bisa diambil:
Yang pertama soal perbaikan sistem administrasi. Pemprov DKI Jakarta perlu berinvestasi dalam teknologi dan sumber daya manusia untuk memperbaiki sistem administrasi kependudukan. Data yang akurat dan terintegrasi akan mempermudah pengelolaan dan pengawasan.
Yang kedua, memberikan edukasi dan sosialisasi kepada warga Jakarta dan pendatang mengenai pentingnya mematuhi ketentuan administrasi kependudukan secara proaktif, bukan reaktif.