WAHANANEWS.CO, Jakarta - Gelombang reaksi keras mengalir dari Kalimantan Tengah usai viralnya konten parodi wawancara yang melibatkan nama Gubernur H Agustiar Sabran.
Tayangan tersebut menuai kontroversi lantaran dianggap bukan sekadar lelucon, melainkan bentuk penghinaan terselubung terhadap pemimpin daerah sekaligus mencatut profesi wartawan sebagai tameng.
Baca Juga:
Samapta Polres Simalungun Sukses Amankan Ibadah Perayaan Paskah di 10 Gereja Prioritas
Konten video yang dibuat oleh kreator Saif Hola—atau dikenal dengan nama asli Saifudin—menampilkan wawancara bergaya doorstop dengan Gubernur Kalimantan Tengah H Agustiar Sabran.
Meski awalnya mengangkat isu serius seperti visi misi gubernur hingga arahan Presiden Prabowo, narasi dalam video tersebut dipelintir melalui pengulangan jawaban dan plesetan yang dianggap merendahkan wibawa sang gubernur.
Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Tengah, Sadagori Henoch Binti atau yang akrab disapa Ririen Binti, menyampaikan keprihatinannya.
Baca Juga:
Dugaan Pelecehan Seksual Dokter di Malang, Korban Resmi Lapor Polisi
Dalam surat terbuka yang dikirimkan ke sejumlah media pada Minggu, 20 April 2025, ia menegaskan bahwa profesi wartawan tidak boleh dijadikan tameng untuk merendahkan martabat orang lain.
"Padahal keberadaan wartawan bukan untuk menghina dan mempermalukan siapa saja karena wartawan bekerja untuk menyampaikan informasi kepada publik dengan cara-cara terhormat, sesuai kode etik jurnalistik," ujar Ririen dengan nada keberatan.
Ririen pun mendesak agar Saif Hola menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh wartawan. Ia menilai tindakan sang kreator berpotensi mencemarkan nama baik insan pers yang selama ini bekerja dengan mengedepankan akurasi, tanggung jawab, dan etika.
“Wartawan bertanggung jawab untuk menjaga kode etik jurnalistik, seperti akurasi, objektivitas, dan keseimbangan dalam pemberitaan, bukan untuk menghina dengan tujuan mempermalukan orang,” tegasnya.
Nada serupa juga disuarakan Ketua PWI Kalimantan Tengah, M Zainal, yang menyayangkan video tersebut.
Ia merasa tersinggung atas klaim Saif Hola yang mengaku sebagai wartawan dalam video tersebut, terlebih dalam video itu terlihat penggunaan mikrofon yang bertuliskan situs yang diduga berbau pornografi.
“Profesi wartawan bukan untuk melecehkan siapapun, karena profesi ini merupakan profesi mulia. Mengkritik boleh, tetapi jangan sampai melecehkan, justru kritik yang membangun, bukan menjatuhkan,” ungkap Zainal.
Zainal menambahkan, etika dalam bermedia sosial tidak boleh ditinggalkan, terlebih jika menyangkut profesi jurnalistik yang membawa amanah publik.
Ia meminta agar Saif Hola menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan mengimbau masyarakat agar lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
Menurutnya, “Kritik yang baik adalah yang bisa membangun, bukan yang menjatuhkan harkat dan martabat seseorang.”
Menanggapi insiden ini, pengamat media sosial Prasanti Hardiana menilai bahwa fenomena semacam ini mencerminkan lemahnya literasi digital dan merosotnya kesadaran etika bermedia di kalangan kreator konten.
Ia menilai, klaim kebebasan berekspresi sering kali dijadikan tameng untuk perilaku yang sebenarnya merugikan banyak pihak.
“Ketika satire kehilangan konteks dan tujuannya hanya untuk sensasi, maka yang lahir bukan lagi kritik sosial, melainkan bentuk perundungan yang dibungkus kreativitas semu,” ujar Prasanti.
Ia menambahkan bahwa konten seperti ini menjadi bahaya laten di tengah derasnya arus digital, karena bisa dengan cepat membentuk opini publik yang keliru.
Saif Hola sendiri telah melakukan klarifikasi di hadapan organisasi masyarakat Habar Kalimantan Tengah (HKT) dan LSM LPMT Kalteng.
Dalam pertemuan itu, ia mengaku tak memiliki niat untuk merendahkan Gubernur Agustiar Sabran dan telah meminta maaf secara terbuka kepada beliau maupun masyarakat Kalteng.
Ia juga berjanji akan membuat video permintaan maaf dan menyebarkannya melalui platform media sosial yang sama.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]