WahanaNews.co, Jakarta - Empat anggota keluarga tewas setelah melompat dari lantai 22 sebuah apartemen di Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara (Jakut), pada Sabtu (9/3/2024).
Berdasarkan hasil pendalaman dan penyelidikan polisi, keempatnya diduga melakukan tindakan bunuh diri.
Baca Juga:
Tragis! Seorang Wanita di Nias Ditemukan Tewas Gantung Diri
Korban tersebut adalah pasangan suami istri EA (51) dan AIL (52), beserta kedua anak mereka JIL (15) dan JW (13).
Polisi menyatakan bahwa para korban mengalami cedera di bagian belakang kepala dan mengalami patah tangan dan kaki.
Meskipun demikian, Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mengungkapkan ketidaksepakatan terhadap pendapat bahwa keempat korban tersebut secara bersamaan melakukan bunuh diri.
Baca Juga:
Diduga Hendak Bunuh Diri, Polantas Berhasil Selamatkan Wanita di Bogor
"Saya tidak sepakat dengan sebutan itu," kata Reza, melansir Warta Kota, Selasa (12/3/2024).
Menurut Reza wajib ada alasan khusus jika disebut keempatnya bunuh diri bersama-sama.
"Empat orang yang terjun dari atap apartemen itu baru bisa dikatakan bunuh diri sekeluarga (bersama-sama), hanya jika bisa dipastikan bahwa pada masing-masing orang tersebut ada kehendak dan antarmereka ada kesepakatan (konsensual) untuk melakukan perbuatan sedemikian rupa," papar Reza.
"Namun, ingat, pada kejadian yang menyedihkan dan mengerikan itu ada dua orang anak-anak," tambah Reza.
Menurutnya kedua anak tidak bisa disebut berkehendak dan bersepakat.
"Implikasinya, anggapan bahwa anak-anak berkehendak dan bersepakat, dalam peristiwa semacam ini serta-merta gugur. Dalam situasi apa pun, anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuannya bagi aksi bunuh diri," ujar Reza.
Reza menjelaskan hal ini dengan menganalogikan kedudukan anak dalam aktivitas seksual.
Dari sudut pandang hukum, kata Reza, anak-anak yang terlibat dalam aktivitas seksual harus selalu didudukkan sebagai individu yang tidak ingin dan tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual.
"Siapa pun orang yang melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak secara universal selalu diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual. Anak-anak secara otomatis berstatus korban," kata Reza.
Kembali ke peristiwa terjun bebas di Jakarta Utara, papar Reza, terlepas apakah anak-anak pada peristiwa itu mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju, tetap--sekali lagi--mereka harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak setuju.
"Aksi terjun bebas tersebut, dengan demikian, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual," katanya.
Karena tidak konsensual, kata Reza, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrim tersebut.
"Atas dasar itu, dengan esensi pada keterpaksaan tersebut, anak-anak itu sama sekali tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri," ujar Reza.
"Karena mereka dipaksa melompat, maka mereka justru korban pembunuhan. Pelaku pembunuhannya adalah pihak yang--harus diasumsikan--telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa," katanya.
Memang, menurut Reza, walau kejadian tersebut berubah tidak lagi semata-mata bunuh diri, melainkan menjadi bunuh diri dan pembunuhan, polisi tidak bisa memrosesnya lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas.
"Indonesia tidak mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati," kata Reza.
Namun, kata Reza, dalam pendataan polisi, dan perlu menjadi keinsafan seluruh pihak, tetap peristiwa memilukan itu seharusnya dicatat sebagai kasus pidana.
"Yakni terkait pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa mereka untuk melompat dari gedung tinggi," ujarnya.
Polisi Dalami Motif
Polisi sedang menyelidiki motif yang melatari kasus dugaan bunuh diri empat orang anggota satu keluarga dengan melompat dari sebuah apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara.
Menurut keterangan polisi, keempat korban ditemukan tewas di depan lobi apartemen, pada pukul 16.15 WIB sore, Sabtu (9/3/2024).
Seorang petugas keamanan sempat mendengar suara dentuman, seperti benda jatuh.
Ia bergegas memeriksa, sebelum akhirnya menemukan jasad empat orang di depan pelataran parkiran sebuah apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara.
"Ketika saksi sedang berjaga di depan lobi mendengar suara benturan yang keras, ketika menoleh ternyata terdapat empat mayat," kata Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Gidion Arif Setiawan.
Petugas keamanan setempat langsung melaporkan kejadian itu ke Polsubsektor Teluk Intan.
"Korban sudah tergeletak di pelataran parkir dalam posisi terlentang, selanjutnya anggota sekuriti melaporkan kejadian tersebut ke Polsubsektor Teluk Intan," ujar Gidion.
Gidion membenarkan kepada media bahwa penyebab kematian empat orang tersebut adalah bunuh diri.
Namun, pihak kepolisian masih belum mengetahui penyebab bunuh diri tersebut.
Kepala Polsek Penjaringan Komisaris, Agus Ady Wijaya, menyatakan, berdasarkan penuturan sejumlah saksi dan barang bukti, termasuk pantauan kamera pemantau (CCTV), ada indikasi kuat keempat korban melakukan bunuh diri di lantai 21 apartemen.
"Kami belum menentukan motif yang membuat satu keluarga ini melakukan aksi bunuh diri," kata Agus.
Petugas dikatakan memeriksa para saksi seperti petugas keamanan dan keluarga korban yang lain.
Selain itu pemeriksaan juga meliputi identifikasi kendaraan dan membuka ponsel milik korban.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi, para korban bunuh diri merupakan anggota-anggota keluarga yang terdiri dari suami EA (50), istri AIL (52) dan dua anaknya, yaitu JWA (13) serta JL (15).
Menurut Agus, keempat korban mengalami luka berat di bagian kepala, tangan dan kaki. Saat ditemukan, keempat korban sudah tak bernyawa.
"Keempat jasad sudah dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk dilakukan 'visum et repertum' dan saksi diamankan untuk dimintakan keterangan lebih lanjut," kata Agus.
Kepala Polsek Penjaringan Komisaris Agus Ady Wijaya menyebut empat orang anggota keluarga yang bunuh diri sudah tidak tinggal di Apartemen Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara.
"Para korban sudah lama tidak menempati apartemen ini," ucap Kapolsek Penjaringan Kompol Agus Ady Wijaya,Minggu (10/03).
Menurut keterangan saksi, keluarga itu sudah dua tahun tidak menempati apartemen tersebut.
”Ketika datang lagi ke apartemen, mereka langsung melakukan tindakan (bunuh diri) ini,” kata Agus.
Berdasarkan hasil identifikasi dari Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis), korban terluka parah di sejumlah bagian tubuh.
Polisi menemukan ikatan tali yang putus pada tangan keempat jasad tersebut.
Diduga bahwa tali tersebut terikat pada tangan sebelum mereka melakukan aksi bunuh diri.
“Kondisi EA terikat dalam tali yang sama dengan JL, namun kondisinya di bawah ikatan tali tersebut lepas," ungkap Agus.
"Kemudian AIL terikat tali yang sama dengan JWA, pada saat di bawah ikatan tali tersebut masih mengikat pada kedua tangan mereka," tambahnya.
Polisi mengatakan saat ini masih mencari petunjuk dari ponsel korban. Tim Laboratorium Forensik (Labfor) tengah mendalami ponsel korban.
"Ponsel milik korban rusak, sedang dalam proses di labfor," ujarnya.
Ayah cium istri dan dua anaknya
Dari rekaman kamera CCTV, polisi mengatakan pihaknya mengetahui sebagian aktivitas keluarga tersebut sebelum melompat dari apartemen itu.
Dalam rekaman video, sang ayah sempat mencium istri dan dua anaknya ketika hendak masuk lift.
"CCTV menunjukkan para korban ini datang bersama, naik lift bersama. Di lift, EA menciumi para korban lain," ungkap Kapolsek Penjaringan Kompol Agus Ady Wijaya, Minggu (10/3/2024).
Setelah itu, sang ibu mengumpulkan ponsel para korban dan diletakkan dalam tasnya hingga keluar lift, kata polisi.
"AIL mengumpulkan HP para korban di tasnya, sampai keluar lift bersama," papar Agus.
Sesampainya mereka di lantai atas, tidak ada saksi lain yang melihat aktivitas mereka.
Tetapi, kamera CCTV kedua menayangkan saat empat orang itu jatuh bersamaan usai melompat dari lantai atas apartemen, tambah Agus.
Masalah Finansial
Salah seorang tetangga korban, Arif, mengaku sudah kenal dengan keluarga korban sejak 2017.
Saat itu, Arif tinggal di lantai 16, bersebelahan dengan bilik keluarga korban.
Ia mengaku sempat mendengar keluarga empat orang itu berencana pindah ke Solo, Jawa Tengah.
"Saat itu suaminya sudah pulang. Tinggal anak dan istrinya," kata Arif (48).
Pria yang bekerja sebagai pengusaha sarang burung walet itu menyatakan dirinya sempat memberikan uang sejumlah Rp3 juta kepada keluarga itu.
Ia mengeklaim uang itu ia berikan tanpa keluarga tersebut meminta.
"Saya tahu mereka lagi susah. Perempuannya mau nangis."
Arif mengaku selama tinggal bertetangga dengan keluarga itu, tak pernah ia mendengar keributan dari bilik tersebut.
"Cuma saya pernah lihat barang-barang di dalam rumah berantakan," ujarnya.
Awalnya, sebuah rekaman video yang menampilkan keempat korban terbaring di jalan menjadi viral di media sosial pada Sabtu (9/3/2024).
Video tersebut menjelaskan bahwa keempat orang tersebut diduga melakukan bunuh diri di sebuah apartemen di daerah Penjaringan, Jakarta Utara.
Dalam rekaman tersebut, keempat jenazah tampak terbungkus dalam kardus, menunggu kedatangan polisi dan petugas kesehatan di lokasi kejadian.
Kombes Gidion Arif Setiawan, Kapolres Metro Jakarta Utara, menambahkan bahwa empat mayat tersebut kemudian dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo sekitar pukul 19.05 WIB untuk dilakukan Visum Et Refertum (VER).
Lokasi kejadian, atau Tempat Kejadian Perkara (TKP), ditandai dengan garis kuning polisi.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]