WahanaNews.co | Sosok wanita tokoh adat Suku Dayak, Lampang Bilung mengungkapkan, sampai saat ini masyarakat Kalimantan, khususnya Warga Suku Dayak masih menunggu permintaan maaf dari terdakwa Edy Mulyadi.
Hal itu disampaikan Lampang sebagai kapasitasnya selaku Ketua Persekutuan Dayak Kaltim Kota Balikpapan yang hadir menjadi saksi dalam perkara dugaan ujaran kebencian terdakwa Edy Mulyadi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (5/7).
Baca Juga:
Kasus 'Kalimantan Tempat Jin Buang Anak': Edy Mulyadi Dituntut 4 Tahun Penjara
"Sejak ucapan itu (Jin Buang Anak), kami minta saudara edy mulyadi datang ke Kalimantan meminta maaf secara adat, tapi sampai sekarang tidak ada dia datang ke Kalimantan," kata Lampang.
Lampang pun sempat merasa heran alasan apa yang membuat Edy sampai dengan perkara ini naik ke persidangan. Dirinya tak kunjung hadir untuk meminta maaf secara adat, seperti permintaan dari masyarakat Kalimantan.
"Jangan takut mati Edy Mulyadi, minta maaf kepada kami masyarakat Kalimantan," tuturnya.
Baca Juga:
Edy Mulyadi Teriak ke Saksi di Sidang Pengadilan, Ada Apa?
Lantas, salah satu tim kuasa hukum Edy Mulyadi, menanyakan perihal tata cara bagaimana proses permintaan maaf secara adat yang nantinya harus dijalankan. Apabila kliennya tersebut datang ke Kalimantan.
"Saksi permintaan maaf, itu harus lewat proses kita ada sidang adat. Dari beliau (Edy) meminta maaf dari bukti beliau menyatakan permintaan maafnya, karena ada benda-benda adat, ada orang orang tua adat yang bijak sebagai hakim. Disitu kita bisa membantu," ujar Lampang.
Lampang pun mengatakan bahwa Edy jangan khawatir atas keselamatan dirinya apabila datang ke Kalimantan. Karena, dia menjamin bahwa tak akan ada kekerasan yang dilakukan dalam proses sidang adat tersebut.
"Seperti ditanyakan, tampar pipi kiri, kasih pipi kanan (ajaran kasih). Kami masyarakat dayak memiliki kebijaksanaan yang tidak akan pernah terpikiran orang lain. karena dari dulu turun temurun kami punya hati yang bijak," tuturnya.
Mendengar jawaban itu, tim kuasa hukum Edy, lalu mengungkit perihal upaya dari kliennya yang telah menghubungi Ketua Umum Persekutuan Dayak Kalimantan Timur Syaharie Jaang untuk mengetahui proses sidang adat di sana.
"Yang mulai saya pernah menghubungi beliau (Syaharie Jaang), tapi beliau tidak pernah diberikan tanggapan apa-apa. Terkait mekanisme permohonan maaf menurut ibu harus melalui prosedur," tutur kuasa hukum
"Saya sebagai kuasanya beliau saya pernah menghubungi saudara Syaharie Jaang selaku pemangku adat di sana untuk menanyakan perihal permohonan maaf tokoh adat di sana. Namun Syaharie Jaang tidak mengangkat telpon, membalas sms tidak ada," tambahnya.
Karena merasa tidak ada respon dari Syaharie Jaang pihak Edy pun merasa tahapan yang dimaksud saksi Lampang tidak benar. Guna menengahi perdebatan itu, hakim ketua Adeng HK meluruskan pernyataan tersebut.
"Gini saya tengahi, pernah gak pak Syaharie Jaang menyampaikan kalau ada kuasa terdakwa menyampaikan untuk permohonan maaf? Misalkan ada oh boleh asal saudara datang. ada gak itu? pernah tau gak dihubungi kuasa hukum?" tanya Hakim Adeng.
"Saya tidak pernah tahu itu, kami belum tahu itu. Karena sampai sekarang kami menunggu, menunggu beliau ini datang," jawab Lampang.
"Namun upaya kita kami selaku kuasa hukum ini telah melakukan RJ (restorative justice) yang mulia. sudah saya rasa cukup," potong kuasa hukum.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mendakwa Edy Mulyadi karena dianggap telah menyebarkan berita yang membuat keonaran di masyarakat. Perbuatan itu terkait pernyataannya mengenai lokasi Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan yang disebut sebagai tempat jin buang anak.
"Menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong," kata JPU dalam sidang, Selasa, (10/5).
Menurut jaksa, perbuatan itu dilakukan Edy ketika menjadi pembicara dalam acara konferensi pers yang digelar LSM Koalisi Persaudaraan & Advokasi Umat (KPAU) di Hotel 101 Urban Thamrin, Jakarta Pusat. Dia juga menyebarkan sejumlah pernyataan kontroversial melalui akun YouTube miliknya 'Bang Edy Channel'.
Akun tersebut sudah memiliki ratusan ribu subscriber. Lalu, sudah mendapat plakat penghargaan berupa Silver Play Button. Edy disebut mengeruk keuntungan dari akun YouTube tersebut. Akun YouTube itu disebut di bawah naungan Forum News Network (FNN) yang belum terdaftar di Dewan Pers.
"Sekalipun Bang Edy Channel tak terdaftar di Dewan Pers tapi akun tersebut rutin mengunggah berita dan rutin mengulas pendapat kebijakan pemerintah yang tendensius," ujar Edy.
Atas hal itu, Edy Mulyadi didakwa dengan Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2) atau Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Jaksa juga mendakwa dengan pasal alternatif yakni Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau Pasal 156 KUHP. [rin]