Pihaknya juga mempertanyakan kinerja Kapolda Maluku dalam menegakkan UU TPKS dari sisi perlindungan korban.
“Apakah ada main mata dan membiarkan korban dibawah kendali pihak lain?” tanya Hijrah.
Baca Juga:
Gempa Berkekuatan Magnitudo 5,6 Kini Menggoyang Maluku Tenggara
Ia menambahkan, jika kepolisian tidak mampu melindungi korban, maka pihak kepolisian wajib mengajukan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Sehingga disini kami sedang mengukur kualitas penanganan institusi Polda Maluku dalam menyelidiki kasus ini sesuai ketentuan pasal-pasal yang ada, apakah polisi sebagai penegak hukum takluk dan tunduk ketika menghadapi posisi terduga pelaku yang memiliki jaringan kekuatan dan kekuasaan? Ini harus segera terjawab," tandasnya.
Andy Yentriyani selaku Ketua Komnas Perempuan mengatakan, cara pelaku menikahi korban merupakan modus untuk melarikan diri dari tanggung jawab secara hukum.
Baca Juga:
Komnas HAM Maluku Minta Bentrokan Antara 2 Desa Segera Diselesaikan
"Modus kawin atau pernikahan seringkali ditemukan sebagai cara terlapor melarikan diri dari tanggung jawab secara hukum," ungkapnya.
Dalam UU TPSK (Undang-Undang Tentang Penghapusan Perkawinan Anak) Pasal 10, secara jelas menyatakan bahwa tindakan ini dapat dianggap sebagai bentuk pemaksaan perkawinan.
Dia juga menambahkan bahwa jika pihak kepolisian tidak menemukan bukti yang kuat untuk menghindari proses hukum, maka mereka dapat menggunakan pasal mengenai pemaksaan perkawinan.